"Ibu, aku rindu ayah. Ayah kapan datang? Aku pengen ketemu ayah, Bu," rewel Aurora pada Malina yang tampak bingung dan rapuh, namun tetap berusaha tampil tegar dan baik-baik saja di hadapan putrinya.
"Sayang, ayah sedang berobat di tempat yang jauh. Kalau ayah sudah sembuh, ayah pasti datang. Kamu yang sabar ya ...."
"Kenapa ayah nggak berobat di sini saja, Bu? Seperti aku dan Dany, Dokter Leo dan Dokter Angel pasti bisa mengobati ayah."
Malina kehabisan alibi. Butuh waktu sekian detik bagi Malina untuk mengarang jawaban yang ia harap bisa diterima putrinya. "Sakit ayah berbeda dengan sakit kamu dan Dany, jadi, dokter dan perawatannya juga berbeda."
"Memangnya nggak ada dokter lain yang bisa menangani sakit ayah di sini? Bagaimana dengan Dokter Pandu?"
"Ada banyak pasien lain yang harus ditangani Dokter Pandu."
"Terus, kalau ayah nggak sembuh, ayah nggak bakal datang nemuin kita lagi dong, Bu?"
Malina tercekat. Mulutnya terbuka namun tak mampu melepas suara.
"Kalau ayah nggak sembuh, artinya ayah pergi selamanya ya, Bu?"
"Nak ...."
Mata Aurora seketika berkaca-kaca karena tak mendapat jawaban yang meyakinkan dari Malina. Ya, mata yang kemarin resmi kembali menangkap cahaya dan warna-warna dalam kekaburan, kini berlapis cairan bening yang perlahan bergulir turun di pipi merah merona Aurora.
"Sudah, sudah, jangan nangis ya anak ibu! Mata kamu belum pulih sepenuhnya ...." Malina menarik kencang isak yang datang menyaksikan putrinya merongrongi ketiadaan Rhett. "Masih ada ibu di sini. Ibu janji nggak akan pernah ninggalin kamu. Sekarang kita doakan ayah ya ... semoga ayah cepat sembuh ...."
"Mau doain ayah sambil peluk ibu ...."
"Ayo sini peluk! Ibu juga pengen peluk kamu. Ingat ya ... hati-hati dengan lensa kontaknya! Jangan kucek-kucek mata dulu!"
Aurora mengangguk patuh lalu hambur dalam pelukan Malina. Di saat Aurora berusaha meredakan tangisannya, Malina justru lepas kendali. Begitu wajahnya membelakangi wajah sang putri, Malina tertegun dalam renungan, menangis dalam diam. Sedikit banyak ia memikirkan kata-kata Aurora, membuat hatinya semakin remuk redam. Ia tahu alasan Rhett memilih pergi ke Belanda bukan sebatas ingin berobat, namun juga karena ingin meringankan bebannya. Suaminya itu tak ingin membebaninya dengan kondisi bergantung penuh, sebab kondisi Dany dan Aurora juga butuh perhatian yang menyita. Malina harusnya bersyukur Rhett masih memiliki keluarga yang peduli, meskipun pahitnya perpisahan harus ia telan dalam-dalam.
Di balik cedera fisik yang telah membuat Rhett lumpuh, Malina bisa melihat bagaimana hancurnya lelaki itu secara mental. Mulut Rhett mungkin tak lagi bisa menyuarakan betapa ia merasa bersalah atas kecelakaan yang terjadi, tetapi matanya, caranya menatap Malina dengan tetesan bening yang tak putus berlinang, menjelaskan bahwa Rhett tak mampu menerima takdir yang menghempas kebahagiaan keluarga kecilnya. Dulu saja, waktu Malina kehilangan bayi dan rahimnya, butuh waktu berbulan-bulan bagi Rhett berhenti menyalahkan diri. Apalagi sekarang, kondisi fisik dan mental Rhett benar-benar berada di titik nadir. Sebelum berangkat ke Belanda, Malina tak henti-hentinya membesarkan hati Rhett, menyemangatinya, namun lelaki itu hanya balas menatapnya nelangsa, tanpa asa. Seakan baginya dunia telah binasa.
Ya, dia adalah Rhett, si pengecut, si lemah, si paling penyayang yang akan selalu menjadi suami dan kekasih hatinya. Apapun yang terjadi selanjutnya, Malina telah memasrahkan segalanya pada Sang Pencipta. Mengingat semua kepahitan yang telah ia lalui, ia sudah tak mampu mengeluh lagi.
"Bu, ibu kenapa melamun? Ibu dengar aku tidak?"
Pikiran Malina kembali dari kembara, ia sama sekali tidak mendengar apa yang Aurora katakan. Ia seka cepat-cepat air matanya sebelum dipergoki Aurora.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starseed: Beyond The Celestial
Science FictionGenre: Sci-fi, Drama, Mystery Blurberry: Sebuah persaudaraan yang berkoloni di suatu tempat rahasia, mengirim dua utusannya (Leo dan Angel) untuk menyelamatkan hidup dua anak (Aurora dan Dany) yang sekarat akibat sebuah kecelakaan, sekaligus melakuk...