47. Kármán Line

12 3 0
                                    

Jakarta, 1975

Dany mulai menjadi sosok yang sangat penasaran akan segala hal. Tak sengaja ia menemukan sebuah ruang bawah tanah di rumah Gibran. Tangan jahil berbakatnya berhasil membuka kunci pintu dengan sebuah kawat. Segudang rongsokan barang-barang elektronik pun ditemukan. Dany yakin semua itu milik Gibran.

Tanpa rasa takut Dany menerobos masuk dan menjelajah. Kondisi gudang cukup bersih, tak ada bau menyengat ataupun jaring laba-laba. Tampaknya selalu dikunjungi dari waktu ke waktu. Di tengah penjelajahan tak sengaja ia menemukan secarik foto tercecer di kolong rak buku berdebu. Ia bersihkan foto temuannya yang mengabadikan sosok Zara, Gibran, dan Rhett dalam satu frame. Ingatan yang hilang membuat Dany tak mampu mengenali Rhett dan juga Zara. Baginya hanya Gibran seorang yang tampak familiar di foto tersebut.

Merasa perlu bertanya pada Malina atau pada Gibran, Dany akhirnya menyelipkan foto itu ke dalam saku.

Puas menjelajah tanpa menemukan barang yang cukup menarik perhatiannya, Dany memutuskan untuk hengkang meninggalkan gudang tersebut. Namun setiba di luar, Dany dikejutkan oleh keberadaan Gibran yang telah menunggunya di depan pintu.

"Apa kau sadar dengan perbuatanmu ini?" Gibran lantas meluncurkan nada dingin menghakimi. "Apa kau ingin kupanggil dengan nama barumu—pencuri?"

"Maaf, tapi aku tidak mencuri apapun," Dany berusaha membela diri dari tudingan Gibran. Baru saja hendak mengeluarkan secarik foto yang ia temukan dari dalam saku, Gibran kembali menghakiminya.

"Kalau bukan pencuri lantas apa? Kau membobol masuk ke dalam properti yang bukan milikmu, mempreteli ruang yang sengaja dikunci, dan menolak dipanggil pencuri. Kelewatan sekali kau! Sekarang katakan nama apa yang lebih pantas untukmu selain pencuri? Penyusup? Ya, apa kau lebih suka kupanggil penyusup?"

Tanpa sadar tangan yang tadinya ingin merogoh saku terhenti begitu saja dan terkepal erat. Dany sudah biasa dicap anak gila di sekolah, tetapi nama-nama yang barusan Gibran ucapkan untuk mewakili kesalahannya benar-benar mematahkan hati. Meski begitu, Dany berusaha sebisa mungkin menahan emosi. Mau bagaimana pun, ia telah melakukan kesalahan. Gibran, sekalipun keterlaluan, tetap berada di pihak yang benar.

"Aku benar-benar minta maaf," ucap Dany bersungguh-sungguh. Dengan jantan ia kesampingkan perasaan terlukanya. "Aku sungguh menyesali perbuatanku."

"Baiklah," ucap Gibran sebelum melayangkan sebuah pukulan telak ke kepala Dany. "Sekarang kau kumaafkan," lanjut lelaki itu sembari lalu.

Dany tertunduk. Entah berapa lama ia bergeming bersama suara dengung di telinga dan pandangan yang berputar. Ditambah lagi himpitan rasa sesak yang memenuhi dadanya. Dany ingin menangis, namun ia terlalu marah dan tak mau terlihat lemah hanya karena sebuah tempelengan. Ya. Ia tidak ingat pernah dipukul sebelumnya. Bahkan di sekolah lamanya, serangan yang ia terima tak pernah dalam bentuk fisik. Hanya verbal.

Sejak kejadian itu, Dany mulai menjaga jarak dengan Gibran. Dany tak lagi berbicara jika tidak ditanya, bahkan berhenti membalas tatapan Gibran. Ia benar-benar menutup diri hingga pada suatu hari Malina menyadari perubahan sikap anak angkatnya tersebut.

"Dany, cerita sama ibu! Apa kau punya masalah dengan Gibran?"

Suatu sore di halaman depan rumah, Malina menghampiri Dany yang duduk di teras.  Menyendiri bersama pensil dan buku gambar. Suasana bising dan ricuh permainan badminton Aurora dan Husein sama sekali tidak menggangu fokusnya. Sudah cukup lama Dany tidak menggambar, tepatnya sejak disibukkan oleh proyek memperbaiki alat-alat elektronik yang Gibran berikan. Sekarang sudah lebih dari dua pekan Dany mengabaikan proyek dan kembali ke rutinitas menggambar.

Malina yakin sesuatu telah terjadi antara mentor dan apprentice.

Dany butuh setengah menit menyelesaikan satu bentukan abstrak, lantas menoleh ke arah Malina , "Tidak ada masalah, Bu," sahutnya kemudian.

Starseed: Beyond The Celestial Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang