18. Graviton

5 2 0
                                    

Singapura, 1988

Acara pernikahan Azura dan Rick berjalan mulus sesuai harapan. Pasangan itu tampak sangat bahagia, begitu pula keluarga dari kedua belah pihak.

Dalam balutan gaun selayar putih berlengan panjang, lekuk tubuh Azura terbalut sempurna. Riasannya natural. Rambutnya disanggul rapi. Pilihan aksesoris dan perhiasan yang dikenakan pun bermodel minimalis. Azura bagaikan sebutir mutiara yang baru keluar dari cangkang kerang, tak butuh banyak proses untuknya menjadikannya presentable.

Di hadapan Azura, sang mempelai pria tampil formal dengan kemeja putih dibalut setelan tuksedo berwarna navy. Dasinya berwarna maroon. Korsase dari kuntum mawar putih tersemat di dekat sakunya, senada dengan buket bunga dan gelang yang melilit tangan Azura. Dengan model rambut pompadour, Rick tampak begitu rupawan nan menawan.

Pasangan itu berhasil menunjukkan pada semua mata yang menjadi saksi hari bahagia mereka sebuah perwujudan dari ungkapan Leonardo da Vinci beberapa abad lalu. Simplicity is the ultimate sophistication—untuk standar yang selama ini berlaku di sirkel mereka, sirkel aristokrat. Uang tidak bisa membeli kelas. Azura dan Rick bersinar dari karakter mereka, bukan dari apa yang mereka kenakan.

Mata Malina berkaca-kaca setelah kedua pasangan itu mengucap janji pernikahan. Sehidup, semati, selamanya. Saat Azura menoleh, tersenyum, dan melambaikan tangan ke arahnya, likuid bening Malina tak dapat tertampung lebih lama lagi. Senang dan sedih bercampur jadi satu. Sungguh ia berbahagia untuk Azura, namun tiba-tiba saja kerinduannya pada Aurora merebak seketika. Ia adalah saksi bagaimana Aurora sangat memimpikan hari pernikahannya dengan Dany. Namun takdir tidak berpihak pada keduanya. Dalam hal asmara, Aurora tidak seberuntung Azura. Itulah yang Malina ketahui.

Prosesi sakral yang mengikat Azura dan Rick sebagai pasangan suami istri diakhiri oleh sesi ciuman pertama di depan para tamu. Sekilas keduanya tampak gugup meskipun tersamar di balik derai tawa bahagia yang mereka umbar. Ya, biang kerok kegugupan mereka adalah kehebohan para tamu yang memprovokasi. Pada detik tak terduga, Rick mampu mengatasi kegugupan lebih dulu, berhasil membuat pergerakan pertama.

Rick mencium bibir Azura diiringi alunan lembut musik orkestra dan sorak tepuk tangan dari segenap tetamu. Azura tampak malu-malu, membuat Malina refleks mendengus ironis mengingat kejadian di dapur semalam. Demi Yang Mahakuasa! Ia ingin amnesia.

Usai kehebohan momen ciuman pertama mereda, Azura dan Rick digiring oleh panitia acara untuk memotong kek pernikahan sebagai formalitas peralihan dari sesi sakral ke sesi jamuan. Di sudut lain area pesta, mata Malina sesekali memantau keberadaan Anastasia yang juga sedang mengamati pasangan pengantin baru di pelaminan. Tatapannya hampa. Meski begitu Anastasia tak kalah cantik dengan gaun berwarna padu padan hitam dan merah. Rambutnya disanggul balerina, sesekali menyesap dan menggoyang-goyangkan pelan anggur putih di gelasnya.

Hal terbaik yang Malina lakukan hari ini adalah tidak menghakimi apa yang matanya lihat kemarin malam. Malina lebih ingin melupakan saja, atau menipu diri dengan menganggapnya halusinasi belaka. Apapun yang ada di antara Azura dan Anastasia, bukanlah urusan Malina. Ia tidak bisa begitu saja mencampuri privasi keduanya. Ia tidak bisa membanding-bandingkan caranya bersahabat dengan cara mereka. Ia hanya bisa mendoakan agar Azura maupun Anastasia memperoleh kebahagiaan mereka tanpa menyakiti siapapun.

"Dia benar-benar mirip kakak ya, Bu," ujar seorang pemuda yang berdiri di sebelah Malina. Seseorang yang kedatangannya menjadi kejutan luar biasa untuk Malina pagi tadi. Pemuda itu adalah Husein, putranya.

"Mereka kembar identik, tentu saja mirip."

"Apa ibu yakin mereka kembar identik? Lantas bagaiman bisa mereka memiliki warna mata yang berbeda?"

Starseed: Beyond The Celestial Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang