Singapura, 1988
Dering telepon menghentikan jemari lentik Malina dari aktivitas merajut. Untuk kali pertama ia ingin membuat hasta karya yang kelak bisa Azura pakai. Namun sekarang ia harus bangkit dari sofa, menjawab telepon yang sedang menjerit-jerit. Azura sedang pergi ke luar, berbelanja kebutuhan mingguan mereka. Biasanya ia ikut kemana pun Azura pergi, tetapi hari ini entah alamat apa yang membuatnya merasa ingin tinggal di apartemen saja.
Malina meraih gagang telepon berwarna merah di meja kecil ruang tamu pada detik terakhir, lantas menyapa peneleponnya dengan salam.
"Ibu di mana sekarang? Aku menelepon ke panti, kata Bu Rosa, ibu sudah berhenti. Kenapa pergi tanpa mengabari aku, Bu?"
Suara bariton familiar itu membuat Malina lega. Ia tak menyangka akan menerima telepon dari putranya yang kini tengah belajar di Institut Pertanian Bogor. Kadang firasat itu memang nyata. Kalau saja ia pergi berbelanja dengan Azura, tentulah ia akan melewatkan telepon dari Husein.
"Maaf, Nak. Ibu tidak mau mengganggu konsentrasimu. Ibu di Singapura sekarang. Bagaimana dengan kuliahmu?"
"Aku baik, Bu. Alhamdulillah. Apa benar cerita Bu Rosa kalau kakak punya kembaran?"
"Itu benar, Nak. Sekarang ibu tinggal bersamanya."
"Lalu bagaimana perkembangan pencarian kakak?"
Malina menelan ludah getir sebelum menjawab apa adanya. Tak lupa ia memberitahukan kesaksian Rickard Hudson, pemburu keturunan Inggris yang menyatakan sempat melihat Aurora dalam keadaan baik-baik saja, berkeliaran di hutan bersama sesosok pria misterius.
"Sudahlah, Bu! Ikhlaskan kakak. Mungkin kakak memang baik-baik saja di suatu tempat. Mungkin dia sengaja pergi untuk melupakan segala sesuatu tentang Dany."
"Kalau memang seperti itu, ibu sudah ikhlas Husein."
"Aku senang mendengar ibu sudah lebih baik sekarang."
"Kapan kau libur, Nak? Datanglah ke Singapura. Ibu akan kenalkan kau dengan Azura. Juga kita bisa berkunjung ke sanak saudara ibu yang tinggal di Johor Bahru."
"Aku akan mengusahakannya, Bu. Ngomong-ngomong, bagaimana kembaran kakak? Apa dia se-cerewet kakak?"
Tawa Malina berderai lepas setelah sekian lama dirundung kesedihan. "Tidak, Husein. Dia sangat baik. Memperlakukan ibu seperti ibunya sendiri. Kau akan melihat sendiri perbedaan mereka saat bertemu dengannya nanti."
"Baiklah, Bu. Sampaikan salamku padanya. Aku juga tidak akan berhenti berdoa agar suatu hari Kakak akan kembali berkumpul bersama kita."
"Aamiin. Semoga Allah mendengar doamu, Anakku."
"Satu lagi, Bu. Aku ingin mengabarkan kalau papa sudah keluar dari tahanan beberapa hari lalu. Aku sudah meminta Bu Rosa dan pengurus panti baru untuk merahasiakan keberadaan ibu pada siapapun yang bertanya. Aku tidak mau dia mengganggu hidup ibu lagi dengan kegilaannya."
Detak jantung Malina sempat melambat mendengar kabar itu. Namun di balik kabar itu, ia bersyukur memiliki putra yang begitu waspada dan menyayanginya.
"Terima kasih atas kabarnya, Nak. Ibu akan baik-baik saja di sini. Jangan cemaskan ibu!"
"Aku sayang ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Starseed: Beyond The Celestial
Science FictionGenre: Sci-fi, Drama, Mystery Blurberry: Sebuah persaudaraan yang berkoloni di suatu tempat rahasia, mengirim dua utusannya (Leo dan Angel) untuk menyelamatkan hidup dua anak (Aurora dan Dany) yang sekarat akibat sebuah kecelakaan, sekaligus melakuk...