Selat Karimata, 1966
Malina bergegas kembali ke kamar tatkala matahari habis ditelan lautan. Ia titipkan sebentar bayi temuannya pada Zara yang juga kembali ke kamar tak lama setelahnya. Sebisa mungkin Malina ingin mengejar Maghrib awal waktu di Musala dekat buritan kapal. Dalam situasi seperti apapun, Malina tak ingin abai pada kewajibannya sebagai umat beragama.
Sekembali dari buritan, Malina terkesiap mendapati keberadaan sosok Gibran berdiri bersandar punggung di dinding lorong kabin. Tepatnya tak jauh dari pintu kamar Zara yang terbuka separo. Dari jarak belasan meter, pandangan Malina dan Gibran saling menemukan.
Di waktu bersamaan, angin malam bertiup serampangan. Melorotkan selendang sifon oranye yang sempat melilit kepala Malina. Terpaan itu membuat rambut Malina tercerai berai hingga berkibar-kibar. Sekejap membuat Malina sibuk mengondisikan rambutnya hingga melewatkan tatapan tertegun dari sepasang mata milik lelaki di lorong. Tanpa sepengetahuan siapapun, Gibran menaruh kesan mendalam pada pemandangan yang sedang disuguhkan semesta.
"Lina!"
Gibran memanggil Malina dan beranjak mengikis jarak. Bersikap normal. Tak ingin menunjukkan kesan yang sempat singgah mengingat ia sudah memiliki tunangan.
"Gibran, sedang apa di sini?" Malina menghentikan langkahnya yang terhalang oleh lelaki berparas campuran lokal dan oriental itu. "Menunggu Zara ya?"
Gibran samar menggeleng, "Bisa minta waktumu sebentar?" pintanya kemudian.
Ragu-ragu Malina mengangguk, mengamini permintaan Gibran. Sekilas kepalanya melongok ke arah pintu kamar yang setengah terbuka. Samar terdengar suara percakapan Zara dengan seseorang, entah siapa. Setidaknya, tak terdengar suara tangisan bayi. Membuat hati Malina sedikit lapang.
Malina tak sempat mengamati lebih banyak karena Gibran membimbingnya sedikit menjauh dari kamar. Kini ia dan lelaki itu berdiri berhadapan, masih di sekitaran lorong. Malina melilitkan kembali kerudungnya yang sempat melorot sembari menunggu Gibran mengutarakan maksudnya meminta waktu Malina.
"Maaf telah menjeda kau, Lina. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu."
"Menanyakan apa?"
"Ke mana kau akan membawa bayi itu setelah kapal ini berlabuh di tempat tujuan?"
Malina membaui maksud lain dari pertanyaan Gibran. Ia tak percaya lelaki itu belum mendengar hasil mufakat bersama para petugas kapal dan tim medis bahwa dirinya lah yang akan mengasuh bayi temuannya di panti asuhan. Pun rasanya tak mungkin Zara belum bercerita pada Gibran soal itu. Sudah jelas pula bahwa bayi itu tidak cocok di tangan siapapun. Bayi itu akan menangis jika dirampas dari tangannya. Itulah faktanya. Titik. Malina memiliki chemistry yang kuat dengan bayi itu.
Entah bagaimana mulanya, kini ego Malina menggebu dan terasa sulit dikendalikan.
"Aku dan sahabatku akan mengurus sebuah panti asuhan. Aku akan membesarkannya sebaik mungkin jika memang dia secara alami memilihku sebagai orangtua sambungnya."
"Aku tahu tentang itu. Chemistry. Kecocokan. Aku juga sudah melihat buktinya sendiri petang tadi. Aku hanya kepikiran, bagaimana kelak jika ada orang lain yang ingin mengadopsinya? Kau belum menikah, bukan? Umurmu juga belum memenuhi syarat untuk menjadi ibu asuh sahnya. Mau bagaimana pun, dia akan berada di bawah naungan yayasanmu."
"Ya, kau benar soal itu. Jika ada keluarga yang memenuhi syarat dan cocok dengannya, boleh mengajukan permohonan adopsi," jawab Malina apa adanya. Meski dalam hati tersemat rasa tak rela, Malina tetap harus menjawab berdasarkan prosedur yang ada.
Gibran mengangguk-angguk paham, sudut matanya masih lurus menatap Malina. Pembahasan tentang adopsi sungguh membuat Malina ketar-ketir. Pikirannya yang sempat tenang usai beribadah, sekarang kembali diserang stres.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starseed: Beyond The Celestial
Ficção CientíficaGenre: Sci-fi, Drama, Mystery Blurberry: Sebuah persaudaraan yang berkoloni di suatu tempat rahasia, mengirim dua utusannya (Leo dan Angel) untuk menyelamatkan hidup dua anak (Aurora dan Dany) yang sekarat akibat sebuah kecelakaan, sekaligus melakuk...