5. Orbit

6 2 0
                                    

Cameron Highlands, 2019

Victor baru saja menyelesaikan sarapan. Piringnya tampak bersih mengkilap, seperti tidak digunakan sama sekali.

Dari tempat duduknya, Malina lamat-lamat beranjak hendak memungut nampan bekas makan sang cucu. Terdorong insting wanita yang masih berdetak, Malina berniat memboyong nampan tersebut kembali ke dapur. Netra Malina gatal setiap kali melihat suatu objek tidak berada pada tempat semestinya. Namun belum sampai nampan itu teraih, tangan sang cucu dengan sigap mencekalnya.

Victor menatap fokus neneknya. Sepasang netra berwarna hazelnut terang memancarkan aura tegas yang melekat kuat pada pribadi lelaki berusia seperempat abad tersebut. Tanpa basa-basi, Victor memungut sendiri nampan bekas makannya.

"Jangan beranjak dari singgasanamu, Grandma! Biar aku saja yang mengurus piring kotorku," ujar sosok yang sejatinya adalah seorang bos besar. Saat Victor sudah berkata A, maka tak ada gunanya merekomendasikan B. Kecuali, jika masalahnya berhubungan dengan nilai-nilai yang Malina anut. Malina tidak akan segan membantah semua argumen Victor.

Namun situasi tersebut belum pernah terjadi. Seberkuasanya putra Azura itu di luaran sana, dengan seiring bertambahnya usia, Victor lebih banyak bersikap mengayomi dan open minded. Sikap yang membuat Malina berdecak bangga.

"Grandma, adakah sesuatu yang kau inginkan dari dapur? Aku akan bawakan serta sekembali nanti."

"Aku tidak menginginkan apapun, Cucuku. Terima kasih."

"Hmm. Sepertinya aku ingin makan buah."

Victor bergegas menuju dapur. Meninggalkan Malina di sofa tunggal bak seorang ratu renta yang memajang diri di singgasana. Ia pandangi punggung tegap sang cucu yang mengecil oleh jarak dan mengabur oleh kerabunan matanya. Malina seketika kesal pada waktu yang telah berlalu. Seperti baru kemarin saja putra-putra Azura terlahir ke dunia.

Sekilas tentang kedua putra Azura, sendirian Malina melakukan persalinan mereka. Tangan Malina lah yang menarik keduanya dari kepala hingga kaki ke dunia fana ini. Sekarang para pangeran kecil Azura telah menjelma menjadi sosok yang tak pernah ia bayangkan. Hati Malina seketika diremas rindu. Sama halnya dengan Aurora, sampai detik ini Malina belum mendengar sedikit pun kabar tentang Alan—si sulung yang hak asuhnya diambil paksa oleh mantan suami Azura. Namun Victor—si bungsu—adalah pelipur rindu pada sosok putri keduanya yang telah tiada.

Kematian Azura adalah tamparan keras lain dalam wujud kenangan. Sebuah babak kelam yang Malina sisihkan untuk kesempatan lain.

Sekelumit ingatan mengetuk pelan kepala Malina, membuatnya berseru kencang ke arah dapur untuk menjangkau pendengaran sang cucu. "Victor! Ada stroberi di dalam peti es. Pamanmu memetiknya dari kebun kemarin petang. Makanlah selagi segar!"

"Sempurna!" Victor memekik balik.

Stoberi adalah buah kesukaan Victor dan Dany. Apel adalah buah kesukaan Alan. Tin adalah buah kesukaan Azura. Durian adalah buah kesukaannya, Aurora, Husein, dan juga Elyss. Malina tersenyum simpul, mengapresiasi kerutan di wajahnya, sementara batinnya mengucap syukur untuk ingatan yang masih tajam.

Jemari ringkih Malina kembali meraih selembar foto usang yang tergeletak di pangkuannya. Foto hitam putih Aurora dalam pelukan Dany. Hanya foto itu yang kini ada padanya. Foto lainnya—yakni foto Rosa dan Aurora ketika mengobati sayap merpati—ia tinggalkan sebagai kenang-kenangan untuk Rosa dan para pengurus baru di Panti Rosalina. Sementara foto Malina dan Aurora yang sedang merajut berlayar jauh ke Senja, sebuah pulau di Norwegia dekat lingkaran Kutub Utara. Menjadi kenang-kenangan untuk seseorang yang sampai detik ini belum enyah dari hati Malina.

Waktu terkadang terasa cepat berlalu untuk hal-hal yang menyenangkan. Namun terasa sangat lambat dalam sebuah penantian. Meskipun hanya setitik kecil bak pendar bintang sekunder, namun harapan di hati Malina masih menyala. Harapan bahwa suatu hari, sang putri yang hilang menemukan jalan pulang.

Starseed: Beyond The Celestial Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang