Jakarta, 1972
Mata Malina refleks menutup ketika Rhett membuat manuver dan kembali terbuka entah berapa lama setelahnya, di rumah sakit.
Ya, bagi Malina segalanya terjadi hanya dalam satu kedipan mata.
Saat kepingan ingatan terakhirnya terkumpul, Malina mengepalkan kedua tangannya, menahan keinginan untuk memukuli diri sendiri. Berharap segalanya hanya mimpi buruk yang akan sirna saat ia terbangun.
"Kak Lina?"
Suara familiar membuatnya menoleh. Malina menemukan Irma terduduk di kursi tak jauh dari ranjang tempatnya dirawat, kemudian bangkit menghampirinya. Guratan cemas dan kurang tidur terpatri jelas di garis-garis wajah Irma. Malina menatap lurus nan hampa beberapa jenak, lantas menarik pandangan tanpa memberi respon sama sekali. Seakan tidak mendengar ataupun melihat Irma, Malina kembali memejamkan matanya.
"Kak? Kakak sudah sadar, Kak?"
Masih dengan mata terpejam, Malina menggelengkan kepala. Dalam hati ia meraung. Belum. Aku belum sadar. Tolong bangunkan aku sekali lagi! TOLONG! Malina berharap ia masih berada dalam mimpi buruknya. Namun detik kemudian, ia rasakan jemari hangat Irma menyentuh punggung tangan dinginnya. Membuat Malina terkesiap dan sontak terisak kencang. Kendalinya lepas. Mata yang sempat ia pejamkan kembali terkuak, memberi celah pada buliran bening mengucur bebas dari sudut-sudutnya. Percaya atau tidak, sentuhan lembut nan hangat barusan terasa bagai hantaman yang membuat mental Malina babak-belur seketika.
"Kak, saya panggilkan dokter dulu ya, Kak ..."
Irma hendak beranjak memanggil dokter, namun tangan Malina dengan sigap menahannya. Ia cengkram erat jemari yang semula mengantarkan realitas. Setengah mati Malina coba mengartikulasikan pertanyaan paling berat plus menyiksa yang pernah ia tanyakan pada seseorang.
"Mereka masih hidup, kan?"
Ya, mereka. Suami dan anak-anaknya. Fragmen penyusun nyawanya. Alasan terbesarnya bereksistensi di dunia ini.
"Kak ..." Kini Irma ikut terisak. Respon yang membuat reretakan harapan yang Malina pertahankan seketika berhambur pecah.
"Jawab aku!" raung Malina. Entah dapat kekuatan darimana ia bangkit dari posisi berbaring ke posisi duduk, dengan tangkas tangannya menjangkau Irma. Ia remas kuat-kuat ujung pundak sebelum mengguncang tubuh Irma. "Katakan padaku! Katakan kalau mereka masih hidup!"
Irma mengangguk berat, memberi setitik kelegaan dan menghidupkan kembali harapan yang sempat mati suri. Masih dengan kekuatan gaib yang sama, Malina melompat dari ranjang rawat dan mencabut jarum infus yang tertanam di lengannya. Tak ia hiraukan nyeri tajam yang terasa di sekujur tubuh. Di sebelahnya, Irma mengoceh panik, berusaha menghentikannya. Malina tak bisa menunggu lebih lama bersama tanda tanya yang sudah menyerupai ribuan ular yang mematuk-matuknya. Ia harus bersua dengan nyawanya sekarang juga.
"Antarkan aku pada mereka!"
Malina kembali mencengkeram dan menarik lengan Irma. Tertatih-tatih ia melangkah. Nyeri tajam semakin terasa kentara di area tulang rusuknya.
"Kak, kakak belum boleh banyak gerak, Kak ..." Irma balik memegang lengannya. "Kak Lina, kumohon, tunggu sebentar! Aku bisa ambilkan kursi roda dulu. Bersabarlah sebentar! Aku pasti akan mengantarkan kakak pada mereka."
Malina sama sekali tak mempedulikan ide Irma. Ia ingin memastikan bahwa suami dan anak-anaknya baik-baik saja. Irma yang awalnya ia tarik beralih menuntunnya, membantunya berjalan di lorong panjang hingga seorang perawat menghentikan mereka. Malina hendak mengamuk namun kekuatannya tidak cukup. Perawat yang memergokinya, berteriak memanggil para perawat lain. Seperti orang mengidap gangguan jiwa, Malina dikeroyok dan diseret kembali ke ruang rawatnya. Ia diberi suntikan bius yang membuatnya tak sadar hingga beberapa jam kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starseed: Beyond The Celestial
Bilim KurguGenre: Sci-fi, Drama, Mystery Blurberry: Sebuah persaudaraan yang berkoloni di suatu tempat rahasia, mengirim dua utusannya (Leo dan Angel) untuk menyelamatkan hidup dua anak (Aurora dan Dany) yang sekarat akibat sebuah kecelakaan, sekaligus melakuk...