3. Venus

10 2 0
                                    

Selat Malaka, 1966

Esok harinya, Malina meninggalkan kampung halaman ibunya dan berlayar ke tanah rantau, Jakarta.

Cuaca buruk di malam pertama pelayaran memaksa Malina mendekam di dalam kabin. Meringkuk memikirkan nasib buku catatan kecil yang tidak ia temukan di saku jaketnya. Malina dirundung kalut dan bingung, bertanya-tanya di mana benda itu tercecer. Ia sangat menyesali keteledorannya. Semua tas dan kompartemen sudah ia periksa berulangkali, namun buku catatan itu tak juga terendus keberadaannya.

Sekarang Malina hanya bisa berharap benda itu lenyap saja. Jatuh ke laut, misal. Ia tak bisa membayangkan situasi macam apa yang akan ia hadapi jika buku itu jatuh ke tangan seseorang yang sensitif atau yang berniat tidak baik. Terlebih jika catatan terakhirnya dibaca dan disalahartikan.

Kapal bergoyang kecil sesekali. Malina tersentak dari sebuah mimpi absurd yang tak bisa ia ingat alurnya. Menarik napas dalam-dalam, berjuang mencapai kesadaran maksimal. Ia lalu beringsut turun dari kasur, ingin melihat seperti apa dunia luar melalui jendela kaca bulat di panel kabin. Sejenak matanya memonitori situasi sejangkauan pandang. Di luar masih gelap gulita, ombak kelabu tampak bergulung-gulung menghempas badan kapal.

Merasa cukup dengan pengamatannya, gadis itu kembali naik ke atas kasur, menarik selimut merah muda rajutan ibunya, lamat-lamat memejamkan mata. Berniat melanjutkan tidur yang terjeda. Kamarnya berisi dua belas kepala. Masing-masing mengisi enam kasur bertingkat. Malina dapat kasur di bawah, membuatnya tak perlu naik turun memanjat.

Sayangnya, sekalipun mata Malina terpejam rapat, pikirannya terus berkecamuk pada buku catatan yang raib entah ke mana.

Azan subuh dilantunkan merdu oleh seorang penumpang dari bilik sebelah usai para kru kapal mengumumkan waktu salat. Kini Malina punya alasan untuk tidak melanjutkan tidur. Ia pun segera mengambil wudhu, setali tiga uang untuk menyegarkan mata dengan membasuh wajah. Ibadah subuh ia tunaikan di sebuah ruangan kecil dekat buritan yang difungsikan sebagai musala.

Selesai salat, ia lanjutkan kembara menuju geladak utama. Meski masih gelap gulita, namun para penumpang dari berbagai daerah sudah memadati birai-birai tepian geladak. Kondisi langit di sekeliling cakrawala tampak terang tak terhalang awan. Malina dan semua orang di geladak, memiliki tujuan yang hampir sama—yakni, menantikan terbitnya sang surya.

Hembusan angin laut menjelang fajar membawa aroma garam. Dingin khasnya membelai wajah dan anak rambut Malina yang lepas dari kuncir kuda. Gadis itu berjalan tenang menerabas keramaian di geladak yang sebagian besar dikuasai muda-mudi sepertinya. Ada yang mengobrol santai, ada yang memetik gitar akustik sambil bernyanyi dan menari, ada pula yang senasib dengannya—sendirian di tengah keramaian. Suasana hatinya yang sempat tak karuan karena buku catatan yang hilang, lambat laun teralihkan. Untuk sesaat ia bisa melupakan stresnya. Kini ia menengadahkan pandangan ke langit. Ke bintang gemintang.

Setiap kali hanyut mencermati langit, ia selalu takjub memikirkan begitu besar dan sempurna mahakarya Sang Pencipta. Meski hanya sebatas yang mampu ditangkap indera dan pikirannya, tetapi ia yakin ada banyak hal yang belum ditemukan sedang menunggu untuk ditemukan. Sebagaimana lautan yang dalam, langit adalah hamparan misteri tak terhingga untuk dipecahkan oleh para pemikir dan para pencari jawaban. Dalam hati, tak henti Malina melafalkan nama-nama Tuhannya. Mensyukuri kehidupan yang dianugerahkan kepadanya.

Setitik cahaya perak di kejauhan menarik perhatian Malina. Cahayanya mendominasi. Tak berkelip. Sangat kentara di antara miliyaran titik-titik di sekitarnya. Dialah Kejora. Bintang pagi. Namun, sang bintang pagi sejatinya bukanlah sebuah bintang. Melainkan sebuah planet bernama Venus. Planet paling terang di sistem Tata Surya yang bisa dilihat dengan mata telanjang dari Bumi.

Starseed: Beyond The Celestial Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang