35. Say Yes, Please!

5.2K 427 67
                                    

Setelah tiga bulan menuntut ilmu secara singkat di negeri orang, Kanaya akhirnya kembali menjalani rutinitas monoton seperti sebelumnya. Ia berangkat pagi-pagi ke kantor, lalu bekerja bersama timnya dalam memproduksi sebuah program siaran televisi.

Bersama Sasha, ia membagi apa yang mereka dapatkan selama kursus tiga bulan di Sydney. Kemudian mulai menerapkannya dalam pekerjaan mereka.

Sibuk adalah satu kata yang menggambarkan hari pertama Kanaya bekerja setelah tiga bulan di Sydney. Hingga tanpa terasa waktu bergulir cepat. Pagi menjadi sore, kemudian petang pun menyapa.

Kanaya bisa bernapas lega ketika pekerjaan selesai. Ia pun senang saat keluar dari gedung kantor kala langit sudah berubah keunguan di petang ini.

"Aya!" Panggilan itu dari arap pos keamanan di dekat pintu masuk area gedung.

Di sana, Sagara berdiri sambil melambaikan tangannya. Tidak lupa, senyum lebarnya terpasan sempurna melengkapi wajah tampannya.

"Kok kesini?" Tanya Kanaya saat ia mendekat.

"Biar bisa pulang bareng," jawab lelaki itu dengan santai.

Seperti biasa, ia akan pamit pada sekiriti yang berjaga ketika hendak pergi dari lingkungan gedung.

Lelaki itu juga menautkan jemari tangannya dengan milik Kanaya saat mereka berjalan berdampingan.

Beberapa hari ini, hubungan Kanaya dan Sagara jauh lebih baik. Meski terkadang Kanaya diserang rasa ragu, tapi ia tetap menyambut perlakuan hangat Sagara.

Jujur saja, gadis itu masih belum percaya sepenuhnya atas dukungan bunda. Mengapa bunda tiba-tiba jadi tidak mempermasalahkan hubungan mereka. Apakah karena terpaksa?

Pemikiran negatif itu memang selalu menghantuinya. Sulit sekali dienyahkan karena Kanaya sadar diri dengan keadaannya.

"Mampir makan dulu gimana?" Ajak Sagara.

"Boleh," sambut Kanaya. Kebetulan ia juga lapar sekali.

Keduanya pun sepakat untuk makan di warung sate dekat rumah nanti. Sekarang, mereka harus fokus menerobos banyaknya penumpang bus yang sama-sama ingin pulang ke rumah.

Sepanjang jalan Sagara melindungi Kanaya. Lelaki itu merangkul pundak gadisnya agar Kanaya tidak mepet dengan penumpang lain.

Seperti biasa, keduanya kebagian berdiri saat di jam sibuk ini. Baik Kanaya maupun Sagara tau diri. Mereka cukup muda dan punya tinggi badan yang cukup di atas rata-rata hingga lebih mudah untuk berdiri sambil berpegangan pada pegangan khusus yang di gantung di langit-langit bus.

"Hujan," gumam Kanaya. Ia melihat ke arah luar jendela yang mulai basah akibat rintik hujan.

"Nggak bawa payung," kata Sagara.

Benar saja, hujan semakin deras. Mereka turun di halte dan memilih berteduh di halte hingga hujan mereda.

Mereka berdiri bersebelahan. Bersama-sama menatap rintik air mengguyur kota.

"Aga," panggil Kanaya.

Lelaki itu menoleh. Ia memandangi profil samping Kanaya yang selalu cantik di matanya. Meski lelah dan kucel, Kanaya masih saja cantik bagi Sagara.

"Hmm?"

Tatapan mata gadis itu masih lurus ke depan. Malah, tangannya terulur dan membiarkan air hujan membasahi tangannya.

"Are we really back together again?" Tanya gadis itu.

Sejak beberapa hari lalu, ia terus mengulang pertanyaan ini. Seolah masih belum percaya dengan apa yang mereka jalin kembali.

Anti Romantis (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang