12. Mana Bisa Marah

3.7K 427 43
                                    

Beberapa kali Sagara menghela napas. Ia duduk di dekat kolam renang hotel sambil menatap lampu sorot yang menyinari kolam.

Pikirannya sedang kacau sekarang akibat aksi yang tadi ia lakukan.

"Lancang banget lo!" Rutuknya pada diri sendiri.

Tangan besar Sagara beberapa kali memukul bibir sendiri.

"Si Aya diem aja sih," dumalnya lagi.

Ia mengacak rambut dengan frustasi. Lalu kembali menghela napas dengan kasar.

Mencium Kanaya adalah hal gila yang Sagara lakukan atas dasar kesadarannya sendiri. Namun, siapa mengira kalau malah lelaki itu yang salah tingkah sendiri disaat Kanaya tidak menunjukkan reaksi apa pun.

"Jangan-jangan si Aya marah besar." Lelaki itu bermonolog.

Akan lebih baik jika tadi Kanaya mendorongnya atau menampar sekalian. Bukannya diam saja dan menatap Sagara tanpa ekspresi setelahnya.

Itu jauh lebih menakutkan. Sagara tidak bisa membaca isi pikiran gadis itu.

Sekarang, ia malah tidak berani kembali masuk kamar. Sagara takut suasana akan menjadi canggung. Terlebih setelah mencium bibir Kanaya, ia malah kabur dari kamar.

Inginnya lelaki itu memesan kamar satu lagi saja. Sayang, setelah sempat bertanya di resepsionis tadi, tidak ada lagi kamar yang tersedia. Musim liburan membuata penginapan di sekitar Malioboro menjadi penuh. 

Lelaki itu memeriksa jam di ponselnya. Sudah lewat sedikit dari tengah malam. Ia menduga kalau Kanaya pasti telah tidur. Maka ia putuskan untuk kembali ke kamar saja karena kantuk menyerangnya. 

Dengan langkah perlahan, Sagara memasuki kamar. Suasananya remang karena hanya lampu tidur di atas nakas yang menyala. Di tempatnya berdiri bisa jelas terlihat jika Kanaya tidur menghadap pintu masuk, memunggungi kasur Sagara. 

Sambil berjinjit, Sagara berjalan. Pelan-pelan sekali lelaki itu naik ke atas kasur. Ia sama sekali tidak ingin menimbulkan suara dan mengganggu Kanaya. Ia belum siap untuk menghadapi gadis itu sekarang. Mungkin juga ia tidak akan siap untuk menatap gadis itu besok pagi. 

"Aga," suara parau itu mengagetkan Sagara. 

Posisi tidur Kanaya kini berpindah. Gadis itu berbaring miring menghadap kasurnya. 

"Tolong ambilin minum dong," pintu gadis itu. 

"Oke."

Segera saja Sagara menuju meja di depan ranjangnya. Ia menuangkan air dalam kemasan botol ke dalam gelas. Setelah itu memberikannya pada Kanaya.

"Thanks," ucap gadis itu.

Diminumnya air itu sampai tandas. Kemudian meletakkan gelas di atas nakas samping tempat tidur sebelum akhirnya kembali berbaring memunggungi Sagara. 

Tentu saja lelaki itu jadi bingung. Sebenarnya Kanaya marah atau tidak. Gadis itu bersikap biasa saja. Padahal bukan begini ekspektasi Sagara. 

Saat memutuskan untuk menyentuh bibir Kanaya dengan bibirnya tadi, Sagara sudah memperhitungkan reaksi apa yang akan ia dapat. Pertama, Kanaya akan marah besar dan menghajarnya. Kedua, mereka semakin mellow dan akhirnya Kanaya luluh. Namun, semua itu meleset. Sangat tidak sesuai dengan eskpektasinya. 

"Lo capek, Aga. Tidur!" Suara parau gadis itu kembali terdengar. "Matiin lampu sekalian." Pintanya. 

Sagara langsung naik ke atas tempat tidur. Ia pun mematikan lampu dan berbaring memunggungi kasur yang ditempati Kanaya. 

.
.
.

Kelopak yang dihiasi bulu mata lentik itu perlahan terbuka seiring dengan suara pintu yang tertutup pelan. Sadar sudah tidak ada orang di dalam kamar, Kanaya pun bangun dari posisi berbaring.

Anti Romantis (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang