21. Prioritas Aga

3.1K 349 85
                                    

Kanaya segera melepas tautan tangan Aga di bawah meja makan. Gadis itu menatap bunda dan berkata, "bohong dia, Bun! Aya besok kerja."

Mata Sagara melotot. Sementara Tari tampak senang sekali. Tidak ada alasan bagi Sagara menolak sekarang.

"Aga..." bunda menggeleng. "Jangan malu-malu gitulah."

Orang-orang di meja makan tertawa. Termasuk Kanaya. Meski Sagara tahu, bahwa tawa gadis itu sangat dipaksakan.

Tidak ingin mempermalukan keluarganya, Sagara pun akhirnya pasrah saja. Iya bilang setuju untuk pergi dengan Tari esok sore.

Acara makan siang itu pun berakhir. Para orang tua berpindah tempat. Mereka duduk-duduk di ruang tamu sambil minum teh. Sementara Kanaya dan Sagara membereskan ruang makan.

Tari, gadis itu ikut bertahan di ruang makan. Ia tidak melakukan apa pun, hanya menatap Sagara dan Kanaya yang sibuk bahu-membahu mencuci piring bekas mereka makan tadi.

Sebenarnya Sagara ingin memprotes sikap Kanaya tadi. Bukannya membantu menolak, tapi gadis itu malah mementahkan alasan buatannya. Sayang, lelaki itu tidak bisa leluasa bicara karena ada Tari.

"Kak Aya, emang segitu akrabnya ya sama keluarga Bang Aga?" Tanya Tari.

Kanaya dengan senyum palsunya balik badan, kemudian menjawab, "iya."

Gadis itu mengelap tangannya yang basah dengan handuk tangan di gantungan atas wastafel. Membiarkan Sagara menyelesaikan cucian piring yang tinggal sedikit.

Setelah itu, Kanaya duduk di kursi makan bersebrangan dengan Tari.

Adegan itu disaksikan Sagara sambil curi-curi pandang ke arah para gadis. Ia tidak bisa memperkirakan apa yang akan Kanaya ucapkan pada Tari selanjutnya.

"Kamu pasti mau tanya-tanya tentang Aga kan?" Tutur kata dan nada bicara Kanaya terlewat ramah. Sagara sampai merinding dibuatnya.

"Iya. Kalau tanya langsung abang kan, pasti nggak seru. Pasti malu-malu sama jaim si abangnya."

Baru Sagara sadar, si Tari itu saat bicara agak centil dan terlalu ceria. Seperti dibuat-buat.

"Dia suka sok misterius emang." Kanaya mencibir Sagara.

Kedua gadis itu terkikik. Lalu lanjut mengobrol. Tentu saja dengan topik seorang Sagara.

"Bang Aga pernah pacaran nggak?" Tanya Tari sambil berbisik.

Dalam hati, Sagara mendumal, "bisik-bisik, tapi masih kedengeran gue."

"Mantannya banyak," balas Kanaya.

Lelaki yang kini telah menyelesaikan kegiatan mengelap piring dan meletakkannya di rak itu mendengus kesal.

Ia balik badan dan menatap ke arah Kanaya dengan garang.

"Ikut gue," geram lelaki itu. Ia mencengkram pergelangan tangan Kanaya. Sedikit menarik gadis itu agar mengikutinya ke lantai dua.

"Aga..." rintih Kanaya karena cengkraman kuat Sagara sedikit menyakitkan.

Langkah lelaki itu terus melaju hingga masuk ke dalam kamar. Ia pun melepaskan cengkraman tangan itu dan menutup pintu dengan rapat.

"Apa-apaan sih, Ay?" Emosi Sagara tidak bisa terbendung. "Kenapa lo nggak ngedukung gue dari tadi. Terus itu apaan sok akrab sama cewek itu?"

Meski emosi, Sagara berusaha agar nada bicaranya tidak meninggi. Ia tidak ingin orang-orang di bawah mendengar amarahnya.

"Gue cuma mau ikutin mau bunda. Biar akrab sama Tari. Lagian lo ngapain bawa-bawa nama gue buat jadi alasan lo nggak pergi sama Tari?" Gadis itu menatap Sagara dengan tatapan tajamnya yang khas.

Anti Romantis (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang