Warning!
This chapter is PG-13. . .
Ting!
Jam menunjuk angka lima di sore hari. Orang-orang yang duduk di kubikelnya masing-masing kemudian sibuk mengemasi barang mereka.
Ini sebuah rutinitas yang selama lima hari dalam seminggu terus berulang. Kecuali yang punya kelas di malam hari, maka mereka akan bersiap pulang lebih lama.
Namun, tidak dengan Sagara. Lelaki itu tidak ada jadwal kelas malam. Jadwalnya pagi sampai sore saja, sehingga bisa pulang tepat waktu seperti pegawai kantoran.
"Semangat periksa laporannya," ujar Sagara pada temannya yang duduk di kubikel sebelah.
Lelaki itu menyunggingkan senyuman, tapi tampak tidak tulus karena pelipis matanya tidak mengerut.
Konon katanya, senyum seperti itu hanyalah palsu. Itu bisa jadi ekspresi mengejek yang ditujukan untuk lawan bicaranya.
"Sialan!" Geram lelaki lain yang masih duduk dengan segunung bundelan laporan di meja.
"Balik dulu ya, Pak John," lelaki tinggi tegap yang terlihat bagai model itu menepuk bahu kawannya.
"Tunggu dulu, Pak Sagara."
John menarik tas selempang lelaki bernama Sagara itu. Kemudian memintanya untuk duduk sebentar.
"Apa yang bisa saya bantu, Pak?" Canda Sagara, tapi ekspresinya serius sekali.
John sudah biasa dengan kelakuan rekan kerja sekaligus teman kuliahnya dulu itu.
"Kemarin, gue lihat cewek itu lagi," kata John.
"Cewek yang mana?" Sebelah alis Sagara terangkat.
John dan kata cewek, merupakan satu kesatuan yang penuh misteri. Tidak bisa John menyebut cewek secara umum, sebab lelaki itu punya banyak cewek di sekitarnya.
"Itu loh, temen lu. Si cakep yang kapan hari gue bilang," agaknya John kesal karena Sagara masih belum menemukan frekuensinya.
"Oh... si Kanaya?"
"Iya, temen lu yang waktu itu jemput."
"Oh... lihat dia di mana?" Tanya Sagara.
"Di jalan."
"Oh."
"Panas-panasan loh... kasian gue ngelihatnya. Masa iya cantik-cantik bau matahari plus polusi. Rasa ingin memiliki dia biar bisa melindungi tuh langsung membuncah!" John bertutur dengan semangat.
Kali ini, Sagara terpingkal. Ia lucu melihat ekspresi temannya saat bercerita. Juga, lucu membayangkan sosok Kanaya di jalanan bagai gembel.
"Bro, bolehlah lu bantu gue gitu biar jadi sama temen lu," lanjut John.
"Emang apa alasannya lo suka sama Kanaya?" Tanya Sagara.
"Dia cantik. Auranya tuh dingin, misterius, kayak manggil gue buat menyelami dia."
John dan kata-kata berlebihannya juga masih satu paket.
"Gue kasih tau nih. Si Kanaya itu cewek yang pahit banget ekspresinya. Udahlah judes, jutek, jarang senyum, dan anti romantis." Sagara menjelaskan.
"Bro, itu buat gue tertantang untuk mendapatkan dia!"
Sungguh, John belum kehilangan energinya meski seharian ini sudah mengajar beberapa kelas dan masih harus memeriksa setumpuk laporan mahasiswanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Romantis (Complete)
Romansa"Percuma mau ngasih seribu tangkai bunga, atau sepuluh ribu angsa kertas, bahkan bangun candi sekalipun, Kanaya nggak akan tertarik!" -Sagara. "Mau pakai kode morse, jurus rayuan macan betina, bahkan bergaya seksi di depan Sagara, dia nggak akan nge...