17. Berjarak

3.3K 388 40
                                    

Papa menatap Sagara dan Kanaya bergantian sebelum akhirnya tertawa terbahak.

"Sudah malam, bercandaannya besok lagi aja," ujar papa.

Beliau menepuk bahu Sagara dan masuk ke dalam rumah.

Sementara itu, Sagara berdiri kaku di tempatnya. Ia kehilangan kata-kata karena dianggap tidak serius.

Kanaya pun mendekat. Ia menatap Sagara dengan mata sembab. Kemudian berkata, "mendingan kita jaga jarak aja, Ga."

Gadis itu pun menyusul papanya untuk masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Sagara yang hanya bisa terdiam.

Lelaki itu pun kembali ke rumah dengan langkah gontai. Nasi goreng dalam plastik yang baru ia beli diletakkan begitu saja di atas meja ruang keluarga.

Seolah kehilangan tenaganya, Sagara menyeret kaki saat menaiki tangga menuju kamar.

"Kenapa nggak ada yang percaya sama gue?" Gumamnya.

Ia menjatuhkan diri ke atas kasur. Matanya menatap lurus ke arah langit-langit ruangan yang ditempeli stiker glow in the dark dengan bentuk bintang dan bulan. Stiker-stiker itu ditempel oleh Kanaya.

"Apa gue kurang kelihatan serius?" Ia mempertanyakan dirinya sendiri.

Memang salah punya rasa dan ingin terus bersama Kanaya?

Mengapa keadaan Kanaya selalu menjadi alasan mereka mempertanyakan keseriusan Sagara?

Lelaki itu tidak habis pikir. Lagipula Kanaya tidak minta dilahirkan dengan kondisi demikian. Tuhan menciptakannya dengan kondisi langka. Namun, itu buka berarti bahagianya terenggut bukan?

Dirogohnya saku celana untuk mengambil ponsel. Lelaki itu kemudian membuka galerinya.

Di sana, ada banyak sekali jepretan foto Kanaya. Mulai dari yang diambil Sagara diam-diam saat mereka bersama, sampai foto saat mereka di Jogja.

"Gue udah ngerusak banyak hal gara-gara perasaan ini," ujarnya penuh sesal.

Dahulu, hubungan pertemanan mereka berjalan lancar. Sagara dan Kanaya biasa pergi liburan bersama. Tiap akhir pekan selalu menghabiskan waktu bersama. Bahkan di malam seperti ini, mereka masih mengobrol lewat chat atau telepon.

Sagara menghela napas dengan berat. Rasa sesal mulai menggerogotinya. Jika ia diam saja, mungkin tidak akan begini. Seandainya ia bisa lebih bersabar, pasti Kanaya tidak akan sering mengeluarkan air mata karenanya.

Bayangan Kanaya yang menangis sungguh membuat diri Sagara sakit. Apalagi, air mata itu keluar karena dirinya.

"Oke, kalau emang lo mau kita jaga jarak. Asal lo nggak lagi nangis gara-gara gue."

Sagara pun sudah mulai lelah. Ia lelah dengan perasaannya yang tak ditanggapi. Ia juga mulai lelah berdiri di tempat yang sama selagi orang-orang telah melangkah jauh.

.
.
.

"Aya?"

Mama mengetuk pintu kamar putri sulungnya beberapa kali.

Ini sudah lewat dari jam bangun Kanaya. Harusnya gadis itu sudah berangkat ke kantor sekarang. Namun, sejak tadi, gadis itu belum keluar kamar.

"Biar Javi yang bangunin, Ma," tawar Javi yang baru keluar dari kamar.

Mama pun mengangguk dan membiarkan putranya mengambil alih membangunkan Kanaya.

Sebetulnya Javi tahu bahwa sang kakak tidak baik-baik saja. Semalaman ia mendengar kakaknya menangis sesenggukan.

Anti Romantis (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang