Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Sagara. Sesekali, ia mencuri pandang profil samping wajah Kanaya yang duduk rapat di sebelahnya. Kini, mereka sedang berada di atas becak. Tadinya Kanaya mengajak untuk berjalan kaki saja menuju daerah Keraton, tapi di tengah perjalanan, malah mengeluh lelah. Akhirnya, mereka memutuskan untuk naik becak saja.
Di jalan, Kanaya terlihat sangat menikmati pemandangan jalan. Padahal ini bukan kali pertama gadis itu berada di Jogja, tapi hal-hal kecil mampu membuatnya bersemangat. Hal itulah yang membuat Sagara juga senang. Semangat Kanaya benar-benar membawa pengaruh baik bagi Sagara yang sangat menjunjung tinggi kegiatan rebahan.
Becak berjalan pelan memasuki kawasan Keraton. Meski masih cukup pagi, tapi sudah ada banyak pengunjung yang datang. Mungkin karena memang sedang musim libur sekolah. Para rombongan siswa dari luar kota pun datang berbondong dengan bus.
"Makasih, Pak," ucap Sagara dengan ramah saat membayar jasa becak yang ia dan Kanaya tumpangi.
"Ayo, Ga! Keburu panjang antrian beli karcis masuknya." Kanaya menarik lengan Sagara.
Keduanya berjalan bersisian menuju loket. Senyum Kanaya merekah saat mereka tidak perlu antre panjang.
"Lo tunggu aja di sana, sekalian titip hape gue," titah Sagara.
"Nggak mau. Biar langsung masuk kita," gadis itu menolak.
Lagipula mereka hanya perlu mengantre sebentar. Setelah itu akhirnya bisa masuk ke dalam area Keraton.
Sebenarnya, tempat itu bukanlah bangunan megah seperti istana di Eropa sana. Kanaya pernah mengunjungi salah satunya saat dulu ia sering bepergian untuk urusan pekerjaan. Namun, baginya, Keraton jauh lebih terasa sakral.
"Fotoin dong," pinta gadis itu pada sang sahabat. Ia menyerahkan ponsel Sagara. "Pake hape lo yang lebih bagus kameranya."
"Kebiasaan deh lo," dumal Sagara. Namun, lelaki itu tetap memotret menggunakan ponselnya.
Kanaya berpose di beberapa titik. Sementara Sagara hanya bisa mengulum senyum begitu mendapatkan hasil gambar yang bagus.
"Berdua dong!" Seru lelaki itu.
"Males ah kalo selfie," tolak Kanaya.
Bagi Kanaya yang bekerja di bidang penyiaran, estetika dari selfie itu masih kurang. Gayanya jadi terbatas, pemandangan yang bisa masuk ke dalam frame juga tidak menyeluruh.
"Minta tolong orang dong," saran Sagara.
Lelaki itu pun tanpa segan meminta tolong seorang pengunjung yang sepertinya anak sekolahan untuk mengambil foto mereka.
"Kurang rapet, Om! Coba lebih dempet lagi biar mesra," ujar remaja itu.
"Anjir banget tuh bocah," gumam Kanaya.
"Udah sih, ikutin aja. Katanya mau foto bagus." Sagara berdiri lebih dekat.
"Om, tante, saling rangkul dong!" Bocah lelaki itu tidak juga puas dengan pose Kanaya dan Sagara.
Selama bersahabat puluhan tahun, Kanaya dan Sagara memang jarang berfoto bersama. Mungkin bisa dihitung jari.
Terakhir mereka berfoto itu saat wisuda kuliah. Itu pun karena mama dan bunda memesan studio foto bersamaan. Jadi, untuk kenang-kenangan, Kanaya dan Sagara pun foto berdua mengenakab toga. Itu juga mereka tidak berdiri berdempetan. Waktu itu Sagara duduk di kursi dan Kanaya berdiri di belakangnya.
"Biasa juga kita nemplok," kata lelaki itu. Ia pun merangkul pinggang Kanaya dan tersenyum lebar ke arah kamera ponselnya.
Cekrek!
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Romantis (Complete)
Romans"Percuma mau ngasih seribu tangkai bunga, atau sepuluh ribu angsa kertas, bahkan bangun candi sekalipun, Kanaya nggak akan tertarik!" -Sagara. "Mau pakai kode morse, jurus rayuan macan betina, bahkan bergaya seksi di depan Sagara, dia nggak akan nge...