Kanaya berjalan gontai menyusuri jalanan komplek tempatnya tinggal. Gadis itu beberapa kali menghela napas. Dari raut wajahnya, ia tampak lelah. Padahal baru dua hari lalu ia pulang liburan. Namanya bekerja sebagai budak korporat, tentu saja liburan yang sebentar itu tidak ada rasanya. Malah semakin membuatnya lelah.
Sampai di rumah, Kanaya tidak langsung masuk kamar. Ia duduk di kursi makan dan menatap punggung mamanya yang sedang sibuk membuat kue.
"Banyak amat bikin cup cake, Ma?" Tanya Kanaya.
"Iya, ini bundanya Aga yang pesan. Katanya besok mau ketemuan sama temannya," jelas mama.
Setelah memasukkan beberapa adonan yang sudah diletakkan di dalam cup ke dalam oven, mama pun duduk di depan putrinya.
"Tau nggak, itu si Aga mau dikenalin sama anak temen bundanya. Cantik tau, mama udah lihat fotonya tadi." Kelihatannya mama juga bersemangat dengan kabar itu.
"Wah... semoga berjodoh deh," tanggap Kanaya. Ia memaksakan diri untuk tersenyum lebar.
Harusnya ia ikut senang, bukannya malah terluka seperti sekarang. Bukankah ia yang paling getol untuk menjodoh-jodohkan Sagara?
"Aku ke kamar, Ma. Capek." Gadis itu pamit.
Ia naik ke lantai dua, lalu mengunci kamarnya. Tanpa berganti pakaian atau pun mencuci muka, gadis itu naik ke atas kasur. Ia duduk di tepi ranjang sambil menatap foto wisudanya bersama Sagara yang terpajang di meja samping tempat tidurnya.
Di sana ada banyak pigura kecil. Foto-foto bersama keluarga juga ada. Namun, yang ia pandang hanya satu itu saja.
"Udah saatnya kita jaga jarak, Aga," gumam gadis itu.
Tidak terasa, setetes air mata mengalir di pipinya. Kanaya mengusapnya dengan kasar.
"Let's be happy for him," monolognya lagi.
Kali ini air matanya semakin deras. Gadis itu menunduk dan menahan isakannya.
Sakit sekali rasanya menangis dengan cara ini. Namun, dengan begini Kanaya merasa ia akan lebih bisa mengenang rasa sakitnya, sehingga bisa menyadari kalau menjaga jarak memang yang terbaik.
Bersamaan dengan itu, ponsel Kanaya bergetar. Ada beberapa pesan dari Sagara. Tidak lama berselang, lelaki itu membuat panggilan.
Kanaya bergeming sambil memegang ponselnya. Ia hanya melihat nama lelaki itu tertera dengan ponsel yang terus bergetar.
Setelah getarannya berhenti, Kanaya langsung mematikan ponselnya. Gadis itu meletakkan benda persegi panjang tersebut ke dalam laci meja kerjanya.
"Ya, begini lebih baik," gumamnya.
.
.
.Sambil berguling-guling di atas kasur, Sagara memainkan ponsel. Ia mengetik nama Kanaya dan mengirimnya berulang, namun tidak ada balasan.
Menelepon pun percuma. Gadis itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya. Malahan ponsel Kanaya menjadi tidak aktif saat ia menelepon lagi.
Malam ini perasaan Sagara seperti roller coaster. Sepulang kerja ia ingin bercerita pada bunda tentang perasaannya pada Kanaya. Namun, sebelum bicara, bunda malah memberi kabar.
"Bunda ketemu teman lama bunda! Seneng banget deh. Terus anaknya juga cantik sekali, sopan, dan masih single. Bunda pengen kamu kenalan sama dia. Siapa tau bisa jadi mantu bunda kan. Apalagi dari dulu bunda juga kepingin besananan sama teman bunda itu," tutur bunda dengan penuh semangat tadi sore.
Seketika Sagara tidak bisa berucap apa-apa. Ia tidak mau membuat bunda jadi sedih.
Maka sekarang, lelaki itu jadi galau. Ia ingin kabur saja besok dari acara ketemuan, tapi itu sama saja menyakiti hati bundanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Romantis (Complete)
Romansa"Percuma mau ngasih seribu tangkai bunga, atau sepuluh ribu angsa kertas, bahkan bangun candi sekalipun, Kanaya nggak akan tertarik!" -Sagara. "Mau pakai kode morse, jurus rayuan macan betina, bahkan bergaya seksi di depan Sagara, dia nggak akan nge...