19. Nano-Nano

3.4K 373 61
                                    

Pagi ini meja makan tampak ramai. Semua orang rumah sepertinya akan melakukan aktivitas di waktu yang sama. Seperti papa yang memang berangkat kerja pagi-pagi, Kanaya juga berangkat pagi, ada juga Javi yang katanya akan dinas ke luar kota pagi ini.

Sementara itu, Kinan juga harus ke tempat magangnya pagi-pagi sekali. Sementara Ajun dan Naresh ada bimbingan skripsi di jam delapan pagi.

"Senengnya pada bisa bareng pas sarapan," ucap mama.

Karena personilnya lengkap, maka mama hanya menyediakan roti bakar dan telur ceplok untuk menu sarapan. Biar tidak repot, sebab mama juga harus bersiap ke kantor.

"Iya nih, udah lama banget kita nggak sarapan bareng sejak pada lulus sekolah," sahut Kinan.

Javi, Ajun, dan Naresh mengangguk saja. Mereka menikmati roti bakar lembar ketiga.

"Ma, kemarin sore kan hujan, Naresh lihat kabbbnmmm." Kanaya menyumpal mulut adik bungsunya dengan dua lembar roti.

"Makan Resh, cepetan, nanti telat ke kampus," ujar Kanaya.

Sementara itu, Ajun menatap ngeri pada kakaknya. Kemudian ia memilih bungkam dan sibuk menghabiskan makanan.

"Ajun berangkat. Ayo Resh!"

Ajun salim pada mama dan papa. Kemudian menarik Naresh untuk mengikutinya.

Sementara itu, Kinan masih santai. Ia mulai buka suara. Biasa, bergosip ria seputar kehidupan komplek perumahan mereka.

"Kata Mbak Anggi, minggu lalu dia lihat Bunda Fani sama Bang Aga di resto pasta itu loh, Ma. Katanya Bang Aga kelihatan akrab sama cewek cantik gitu pas makan," tutur Kinan.

Jantung Kanaya berdebar kencang. Ia jadi membayangkan seperti apa pertemuan Sagara dengan anak teman bundanya itu.

Cemburu?

Tentu saja. Namun, gadis itu terlalu pintar untuk menyembunyikan rasa marahnya. Lagipula itu terjadi minggu lalu.

"Oh... itu... iya, Bunda Fani emang mau jodohin Aga sama anak temannya. Semoga aja deh jadi ya," tanggap mama.

Miris, Kanaya hanya bisa pura-pura tenang disaat cerita sang adik dan tanggapan mama membuat hatinya tersayat-sayat.

Di seberang Kanaya, Javi terlihat fokus makan. Hanya saja, sesekali ia menatap ke arah Kanaya. Seperti sedang memastikan keadaan gadis itu.

"Seminggu apa dua minggu lalu gitu, si Aya sama Aga bercandanya kelewatan." Giliran papa yang angkat bicara.

"Emang bercanda apa?" Tanya mama penasaran.

"Si Aga tiba-tiba datengin papa, bilang mau nikah sama Aya."

Papa, Mama, dan Kinan tertawa setelahnya. Mereka pikir itu benar candaan.

"Javi berangkat. Kak Aya mau ikut nggak?" Tawar lelaki itu.

"Iya," ujar gadis tersebut.

Ia dan adik lelakinya itu pun pamit pergi.

Biasanya, Javi memang sering mengantar Kanaya sampai halte. Kalau tidak terburu-buru bahkan diantarkan sampai kantor menggunakan motor vario kebanggaannya.

Di jalan, dua saudara itu memang cenderung saling diam. Namun, kali ini Javi bicara lebih dulu. Lebih tepatnya melontarkan sebuah pertanyaan.

"Kak Aya suka sama Bang Aga?"

Pertanyaan lelaki itu bagai anak panah yang melesat dengan tepat mengenai targetnya.

"Kenapa lo sampai kepikiran tanya begitu?" Kanaya balas bertanya.

Anti Romantis (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang