30. Sudut Pandang Lainnya

3.2K 382 62
                                    

Suara langkah kaki menaiki tangga menyita perhatian Javi. Lelaki yang sedang membaca buku di ruang santai lantai dua itu sontak saja menatap ujung tangga teratas hanya untuk mendapati sang kakak kesayangan berjalan gontai.

Kanaya melangkah tanpa energi. Ia melewati Javi tanpa repot menyapa seperti biasanya. Gadis itu masuk ke kamar begitu saja. Hal itu membuat Javi mengikutinya.

"Kak?" Javi menyapa lebih dulu. "Kok udah pulang?"

Sangat aneh memang karena ini sudah sore, tapi masih cukup awal bagi Kanaya untuk pulang bekerja.

Ia menatap kakaknya yang duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong dari ambang pintu kamar. Menunggu jawaban sang kakak atas keheranannya.

"Hmm... nggak ke kantor." Itu jawaban Kanaya.

Kernyit di kening Javi muncul. Setahunya sang kakak tadi pagi pamit pergi kerja dengan riang. Namun, sore ini, keriangan itu seperti menguap terganti murung.

"Lo dipecat, Kak?" Hanya itu yang terlintas di benak Javi.

Sebuah kekehan kecil kini muncul dari diri Kanaya. Gadis itu balas menatap adiknya. Ia tersenyum kecil kemudian. Sayang, senyum itu malah tampak menyedihkan saat terjadi bersamaan dengan air mata yang mengalir.

"Kak Aya?"

Segera saja Javi berhambur masuk kamar Kanaya. Lelaki itu dengan sigap memeluk erat kakaknya yang malah menangis semakin keras.

Ia tidak peduli kaos hitam kesayangannya basah oleh air mata atau ingus Kanaya. Saat ini, tangis Kanaya yang pilu lebih mengiris hatinya.

Jika tebakan Javi benar, mungkin ini ada kaitannya dengan Sagara. Namun, lelaki itu tidak mau bertanya sekarang. Nanti saat kakaknya lebih tenang barulah ia akan membahas ini.

"It's okay, nangis aja sepuasnya kak sampai lo ngerasa lebih tenang."

Javi menepuk punggung kakaknya. Ia mengeratkan pelukan ketika wajah Kanaya semakin masuk bersembunyi di dadanya. Sehingga suara tangisnya teredam.

Dan waktu pun bergulir dengan sangat cepat. Satu hampir satu minggu berlalu sejak kejadian itu dan kini di dini hari Javi sudah duduk di balik kemudi.

Jalanan begitu lengang. Senyap juga melingkupi mobil yang hanya terisi dua orang. Dirinya dan sang kakak, Kanaya.

Gadis itu beberapa kali menghela napas berat. Pandangannya lurus ke jalanan sepi. Sesekali Javi mencuri pandang, tapi ia kemudian memfokuskan diri.

Percakapan kecil tentu terjadi selama di perjalanan dari rumah ke bandara. Iya benar, bandara. Tempat di mana orang-orang hendak naik pesawat untuk bepergian.

"Kak Aya yakin nggak mau kasih tau Bang Aga?"

Javi bersuara. Lampu lalu lintas di depannya memunculkan warna merah sehingga ia menghentikan laju mobil.

Meski jalanan sepi, tapi Javi tidak akan melanggar aturan. Apalagi sudah ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Ditambah lagi hujan mengguyur kota di pagi buta ini. Sangat berbahaya. 

Ia menoleh, menatap wajah muram kakaknya. Pun dengan Kanaya yang membalas tatapan sang adik. 

"Nggak perlu. Ntar dia malah drama," tanggap gadis itu. 

Javi paham kalau memang rasa cinta itu tidak harus selalu berakhir untuk saling memiliki. Namun ia sama sekali tidak menyangka hal itu terjadi pada sang kakak. Padahal Sagara tampak tulus mencintai dan menyayangi Kanaya. Hanya saja cinta dua individu saja tidak cukup. Hal-hal lain di luar rasa itu juga bisa menjadi penghalangnya. 

Anti Romantis (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang