32. Pertahanan

3.9K 377 62
                                    

Dinginnya udara membuat Sagara menggertakkan gigi. Ia merutuki dirinya sendiri karena tidak membawa pakaian lebih tebal. Apalagi saat sudut matanya menangkap sosok Kanaya yang beberapa kali mengeratkan jaket.

Ah... lelaki itu tidak bisa bertindak heroik dengan menyampirkan jaketnya ke pundak Kanaya. Padahal itu bisa jadi kesempatan untuk memecah kesunyian antara mereka.

Jujur, Sagara tidak menyangka bisa bertemu Kanaya di Sydney. Entah ini kebetulan atau memang skenario Tuhan. Pastinya lelaki itu seperti sedang bermimpi.

Hampir tiga bulan lamanya ia menahan diri untuk tidak mencari tahu keberadaan Kanaya setelah tidak ada yang mau buka mulut. Jelas saudara-saudara Kanaya menutup rapat mulut mereka. Bahkan orang tua gadis itu juga ikut bermain rahasia.

Sagara sadar diri kalau Kanaya memang tidak ingin dikejar. Gadis itu selalu keras dan sangat teguh pendiriannya.

Lantas sekarang Sagara harus bagaimana?

Ia bertemu lagi dengan gadis yang dicintainya. Sosok yang belakangan ini menjadi penyebab ia merana. Perasaan Sagara juga tidak berubah. Ia masih sangat mencintai gadis itu. Bahkan sekarang ia ingin sekali merengkuh tubuh Kanaya ke dalam dekapannya.

Suara derap langkah mereka terdengar jelas. Bersamaan juga dengan suara napas tersengal Sagara.

Jalanan Sydney memang sepi dari kendaraan. Ditambah lagi bersih tak berdebu. Namun, cukup melelahkan dilalui dengan berjalan kaki karena banyak tanjakan dan turunan.

"Lo pasti nggak olah raga?" Tebak Kanaya.

"Jalan kok dari rumah ke halte, halte ke rumah," kilah Sagara.

Kanaya tampak berjalan dengan ringan meski ia membawa sebuah tote bag berisi penuh belanjaan. Tas itu tersampir di pundak Kanaya.

Jalanan menurun terus mereka temui. Di depan sana, pagar pembatas daratan dan laut terlihat jelas.

"Padahal turunan ternyata capek juga," komentar lelaki itu.

Senyum kecil terbit di bibir Kanaya, "memang."

Rasanya sungguh aneh. Mereka berjalan bersebelahan, tapi berjarak. Padahal dulu, mereka pasti saling merangkul lengan. Mereka sangat dekat dan banyak tertawa.

Saat ini suasana antara mereka begitu canggung. Semua hal yang ingin Sagara tumpahkan seolah sirna dari otaknya. Ia lupa harus berkata apa.

"Jadi lo di sini ngapain, kerja?" Tanya lelaki itu pada akhirnya.

"Nggak."

"Sekolah lagi?"

"Hmmm... kursus."

Kini kaki mereka sudah menapaki jalanan di pinggir pantai. Keduanya sama-sama memandang ke depan.

Sagara menoleh. Ia menatap profil samping Kanaya yang selalu cantik. Hanya saja sekarang gadis itu tampak lebih tirus.

"Lo sendiri ada keperluan apa di sini?" Kanaya balik bertanya.

"Gue dampingin beberapa mahasiswa yang ikut lomba bikin aplikasi gitu. Cuma hari ini lagi nggak ada jadwal. Jadi jam bebas buat mereka." Sagara menjelaskan.

"Oh."

Biasanya, Kanaya adalah orang yang akan banyak bicara. Namun kali ini tidak. Percakapan seolah mati setelah topik pembicaraannya usai.

"Lo kursus apa?" Tanya lelaki itu.

Langkah kaki mereka memelan sebab di depan sana sudah tampak Opera House yang berdiri kokoh dan menampilkan kubahnya yang sangat khas.

Anti Romantis (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang