Dinginnya ruang membuat semua titik air membeku perlahan. Sayangnya saat ini di ruangan yang sama panas dingin menyergap gadis dengan hijab putih itu. Wajahnya yang masih muda memang sangat tidak memungkinkan jika harus bersanding dengan pria di sisi lain ruangan.
Pilar yang memisahkan keduanya berinteraksi membuat intensitas bisikan teori meningkat. Seorang perempuan paruh baya kembali menghampiri gadis itu untuk ke sekian kalinya. Seolah dia tengah melaporkan sesuatu padanya.
"Nak, sebelum pernikahan dimulai kamu harus pikirkan kembali,"ucap perempuan itu.
Sementara sosok yang ditanyai malah tersenyum lebar sambil menunduk menahan gejolak dari dalam benaknya. Sontak membuat perempuan paruh baya itu menghela nafas panjang. Kejadian yang terus berulang itu sudah cukup membuat orang di sekitarnya semakin bertanya-tanya.
"Apa yang harus Nilam katakan, Bu? Nilam yakin memilih Pak Wira,"ucapku.
"Nilam. Pernikahan itu hanya sekali. Dengan menikah kamu menyerahkan seluruh kehidupanmu pada suamimu, sayang. Kenapa kamu memilih pria yang sepertinya? Pernikahan bukan hanya satu minggu dan dua minggu. Pria temperamen itu tidak pantas denganmu. Kenapa kamu mencari neraka di saat dihadapkan dengan surga?"tanya Ibunya mengusap pelan kepalanya.
"Karena apa yang terlihat di mata belum tentu buruk isinya. Mungkin aku terlihat bodoh, Bu. Tapi Nilam yakini, pilihan Nilam terbaik. Kalau semuanya berpikir demikian, siapa yang akan bersama dengannya? Nilam ingin menjadi kedamaian baginya saat amarahnya memuncak,"ucapku.
Aku tidak mengatakan hal yang salah, bukan. Memang bagi sebagian orang mencari suami yang terbaik itu adalah pilihan. Namun jika semuanya berpikir demikian siapa yang akan mengubah pria seperti Wira. Lagipula ada alasan lain mengapa aku lebih memilihnya.
"Nilam, coba kamu lihat Fahri. Lihatlah betapa mulianya dia. Pekerjaan mapan, agama mumpuni, akhlaknya baik, dia juga seusiamu dan lebih mengerti pola pikirmu, Nak,"ucap Ibu.
Pandangan ku beralih pada sosok pria yang terlihat di balik pilar sejajar dengan tamu undangan. Pria itu memang tidak pernah kurang dari apapun. Sayangnya dia juga seharusnya bersama dengan perempuan yang lebih membutuhkan bimbingannya. Jika semuanya menginginkan yang terbaik, lantas akan seperti apa yang lainnya?
Pun aku memilih Wira bukan merasa sempurna. Justru karena aku juga memiliki banyak kekurangan. Tujuan pernikahan bukan kesempurnaan melainkan saling melengkapi. Fahri masih bisa mendapatkan perempuan lain dan masih banyak yang menginginkannya secara tulus.
Sedangkan Wira? Saat ini usianya sudah menginjak kepala 4. Dia saja sudah putus asa dengan harapan mendapatkan jodoh. Jika begitu terus berlanjut, lantas apa yang harus ku lakukan?
"Ibu berdoa ini adalah yang terbaik untukmu sayang,"ucap Ibu memeluk penuh sayang.
Perempuan itu tidak salah dan berharap putrinya mendapat terbaik dari yang terbaik. Sayangnya bagi ku Wira adalah yang terbaik dari istikharah. Aku pun sadar setelah ini akan berat ujian yang ku dapatkan. Apalagi Ibu memberi syarat bagi Wira untuk menunda keturunan hingga aku selesai pendidikan.
Dia sudah semakin tua di usianya. Memang usia hanya Allah yang tahu. Tapi sebagai manusia, memilikinya hanya sebentar saja di dunia. Dia hanya punya sedikit waktu jika kami nanti diberikan keturunan. Akh, sudahlah. Semuanya sudah ku pilih dan sekarang saatnya berjalan di atas jalan takdir pilihan.
Dengan isak tangis mendalam, Ibu memberikan buku nikah untuk ku tanda tangani. Mata ku melirik foto yang berada di sisi lain buku. Tanpa diminta bibir ku menarik senyum lebar sembari menggoreskan tanda tangan.
"Apa kamu yakin, Nak?"tanya Ibu saat mengantarkan menuju ruang lain untuk mempertemukan dengan suami ku.
"Insya Allah. Doakan Nilam menjadi istri yang sholeh ya Bu,"ucapku membuatnya mengangguk cepat sebelum akhirnya membukakan pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana Sandyakala ~ Completed
Romance"Kecil, cengeng, ribet, berisik, penakut lagi,"ucap seorang pria mendengus sebal. Kira-kira begitulah komentar Prawira tentang istrinya. Bukan tentang romansa untuk menggoda. Sayangnya dia mengatakan dengan logika. Begitu risihnya pria itu dengan is...