"Nih, biar nggak mumet lagi."
Sebungkus Milk Monaka Ice Cream menghalangi pandangan Aleta. Kedua sudut bibir Aleta tertarik, membentuk senyuman yang disusul dengan tawa kecilnya.
"Eh makasih, tau aja butuh yang dingin-dingin."
Jeffrey berdiri disamping Aleta, hari ini laki-laki itu mengenakan kacamata membuat Jeffrey semakin terlihat.. berkarisma?
Aleta buru-buru mengenyahkan pikiran-pikiran nakal yang sedikit membuatnya tidak fokus. Perempuan itu menatap ujung sepatunya yang menggantung karena posisi duduknya berada dibagian lebih tinggi.
Tapi memang benar setiap Jeffrey mengenakan kacamatanya meski sebagian wajahnya tertutup masker, pesona Jeffrey tetap terpancar dan selalu membuat tidak sedikit perempuan yang menoleh dua kali saat melewatinya.
"Nggak enak banget meeting di luar tapi di jam makan siang, nggak berasa istirahatnya dong?"
Aleta tertegun sebentar, sebelum akhirnya membuka bungkus es krim yang tadi diberikan Jeffrey sambil menyanggah pernyataan Jeffrey barusan.
"Bukan meeting kerjaan tadi."
"Kirain, soalnya sampe mumet gitu."
"Gue ketemu Rama." Aleta berujar pelan sebelum menggigit es krimnya. "Kemarin dia DM Instagram gue, gue penasaran aja sama apa yang mau dia jelasin. Ternyata makin nggak jelas." Lanjut Aleta.
"Oh ya? Nggak jelas gimana?" Respon Jeffrey terdengar tertarik dengan cerita Aleta. Perempuan itu menoleh, terlihat berpikir sebentar sebelum melanjutkan ceritanya.
"Nggak mengakui kesalahannya dan meletakkan kesalahannya di orang lain, playing victim banget. Rama was once a cool guy for me, tapi hari ini langsung buyar."
"Waktu bisa mengubah seseorang, Aleta. Semua orang berproses, bisa jadi lebih baik atau sebaliknya. Depends on them."
"Agree with that, and sadly Rama chose to be the second one. Tapi bisa jadi menurut Rama ini yang lebih baik, no offense. " Ujar Aleta sambil mengendikkan bahunya, tidak mau terlalu berbicara negatif tentang Rama.
"Tapi tuh manusia memang harus mengalami sesuatu yang menjadi turning point mereka sih, baik buat diri sendiri atau hubungan dengan orang lain. Dan menurut gue turning point nggak hanya bisa terjadi satu kali, bisa beberapa kali sampai kita bener-bener berada dititik terbaik versi kita."
Jeffrey menoleh, menatap Aleta yang sedang berbicara dari samping. Terlihat cantik, dengan beberapa helai rambut yang berterbangan karena angin yang cukup kencang. Jeffrey selalu suka melihat wajah Aleta, rasanya semuanya pas. Matanya yang cantik dengan bola mata berwarna cokelat, alisnya yang tidak diapa-apakan -karena menurut pengakuan Aleta, ia tidak bisa menggambar alis-, lalu hidung dan bibirnya yang mungil. Semuanya berada ditempat yang pas.
"I think I have gone through two turning points in my life. Pertama itu titik balik untuk gue dan Metta." Ujar Aleta sambil sesekali menggigit es krimnya yang masih tersisa setengah. Aleta memang selalu lama jika memakan es krim ini, es krim favoritenya dari Chateraise yang tidak pernah ketinggalan dibeli setiap kali mengunjungi mall.
Aleta yang dideskripsikan oleh Syanaz adalah perempuan yang tidak terlalu aktif dalam obrolan, namun bisa berubah menjadi Aleta yang bawel hanya saat ia bersama keluarga atau teman-temannya. Tapi sejauh ini, Jeffrey merasa Aleta sudah cukup bawel saat bersamanya. Aleta mulai membuka topik obrolan mereka dan suka bercerita dari hal-hal remeh nan receh.
Sayangnya ada dua fakta yang cukup meredupkan perasaan senang Jeffrey. Kenyataan bahwa kemarin Rama mengirim pesan dan hari ini Aleta bertemu dengan Rama, yang tidak diceritakan Aleta. Di satu sisi Jeffrey berusaha memahami situasi Aleta, mungkin Aleta mau menyelesaikan masa lalunya sendiri karena bagaimanapun Jeffrey sadar kalau dirinya bukan bagian dari masa lalu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEET CUTE [COMPLETED]
General FictionAleta seperti diberi kesempatan menjadi pemeran utama dari sebuah cerita yang ia sendiri tidak tau berjudul apa, ia terus ditempatkan pada adegan-adegan tidak terduga yang ia sendiri tidak yakin akan berakhir seperti apa. Bagi Aleta, pertemuannya de...