Dua minggu terakhir ini, aku berusaha meyakini diri sendiri kalau apa yang aku lakukan sudah tepat dan aku akan baik-baik saja. Aku melakukan sugesti ke diriku sendiri, berulang kali setiap hari. Aku kira rasanya akan melegakan, ternyata aku salah.
Perasaan bersalah mulai timbul, sedangkan rasa insecure bahkan nggak meninggalkan diriku selangkahpun. Rasanya malah semakin berat, aku yang sesekali menangkap sosok Jeffrey di area sekitar kantor tapi aku nggak bisa menyapanya.
Sebenarnya bukan nggak bisa, tapi aku yang nggak mau memberikan sedikit rasa senang dalam diriku. Jika menyapa Jeffrey, aku akan menerima dua kemungkinan. Pertama rasa senang karena bisa mengobrol lagi dengan Jeffrey atau yang terburuk adalah yang kedua, Jeffrey enggan berbicara lagi denganku karena aku sok jual mahal.
Beberapa malam, aku sering terbangun hingga subuh. Aku sibuk dengan pikiranku, sepertinya hati dan otakku sering bertengkar. Nggak sekali-dua kali aku berakhir menangis karena isi kepalaku yang nggak aku mengerti.
"Jelek banget mukanya."
Itu kalimat pertama yang diberikan Metta setelah dua hari aku hanya berdiam di rumah, nggak pergi kemana-mana.
"Tumben nggak pergi sama Jeffrey."
Kalau itu perkataan mami saat menemui aku berkutat di dapur pada malam minggu sedang memasak mie instan.
"Genjo gak sama anak kantor gue?"
Ajakan kesekian kali Syanaz yang selalu aku tolak dengan berbagai alasan, yang sepertinya semakin lama alasannya semakin nggak masuk akal. Sampai akhirnya aku menjelaskan kondisiku kepada teman-temanku, "We're done before we start." dan respon mereka adalah diam, memberiku ruang sebelum nantinya aku akan bercerita sendiri tentang alasannya. Itu harapan mereka, tapi sepertinya aku nggak akan bercerita alasannya apa.
"Aleta tumben nggak sama Jeffrey pulangnya? Tapi tadi aku tanya Jeffrey juga nggak kesini sih."
Hari terakhir fitting Mbak Jo menanyakan hal itu kepadaku, yang hanya kujawab dengan gelengan pelan dan mencoba nggak terlihat canggung, "Lagi diet Mbak, jadi nggak mau jalan-jalan dulu."
"Gue tau lo udah nggak contact-an lagi sama Jeffrey."
"Hmm..."
Dua malam sebelum hari pernikahan Metta, aku dan Metta menghabiskan waktu di kamar sambil menjalankan rutinitas skincare kami. Kami tidur bersisian diatas kasur dengan eye mask yang menempel dikedua mata kami.
"Kenapa sih?"
"Nggak apa-apa."
"Sebelum lo nggak punya teman cerita di rumah, mending buruan lo cerita ke gue."
Mendengar perkataannya malam itu, aku menendang kaki Metta kencang. Agak sebal karena diingatkan kalau aku nggak akan punya teman bercerita lagi untuk hal semacam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEET CUTE [COMPLETED]
General FictionAleta seperti diberi kesempatan menjadi pemeran utama dari sebuah cerita yang ia sendiri tidak tau berjudul apa, ia terus ditempatkan pada adegan-adegan tidak terduga yang ia sendiri tidak yakin akan berakhir seperti apa. Bagi Aleta, pertemuannya de...