A week before Christmas
"Aku mau ke makam Papi."
Sejak kecil, hari Natal selalu menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh Aleta. Aleta kecil, senang ikut serta dalam paduan suara. Meski semakin dewasa dirinya semakin sadar kalau suaranya hanya akan mengganggu harmonisasi yang sudah diciptakan dengan begitu bagusnya oleh teman-temannya.
Namun tiga tahun terakhir ini, Aleta merasa kalau euforia Natal mulai meredup. Kepergian ayahnya dua tahun lalu di bulan Desember masih meninggalkan kesedihan dalam dirinya. Dua tahun terakhir sebelum hari Natal, Aleta selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi makam ayahnya. Dua tahun kemarin ia pergi sendirian, tapi berbeda dengan hari ini.
"Hai Pap, maaf ya agak terlambat datangnya. Kali ini aku datangnya nggak sendirian, ada Jeffrey. He's my boyfriend and of course he's kind. Papi nggak perlu khawatir apa-apa lagi, nanti kenalan ya sama Jeffrey."
Langkah Jeffrey terhenti saat ia menangkap punggung Aleta yang sedang duduk disamping di makam ayahnya. Jeffrey menatap plastik yang berisi bunga ditangannya, akhirnya laki-laki itu memilih untuk berdiri diam di tempatnya saat ini dengan maksud memberikan Aleta ruang untuk menumpahkan keluh-kesahnya disana. Jeffrey tidak tau apa yang diceritakan perempuan itu disana.
Dua hari lalu, Aleta memintanya menemani perempuan itu mengunjungi makam sang ayah.
Saat melihat Aleta menoleh ke kanan dan kiri seperti mencari keberadaannya, ia menghampiri perempuan itu. Ikut duduk disebelah Aleta dan ikut berdoa disana.
"Papi, this is Jeffrey. It would be so much better if you can chit-chat with him."
***
"Kemarin pas aku keluarin pohon natal dari gudang, aku ketemu kardus yang isinya album. Album masa kecilku. Banyak banget fotonya, Papi selalu suka fotoin aku dan Metta. Lucu banget foto-fotonya, nanti kalau ke rumah aku kasih liat ya."
Sore ini setelah selesai berziarah, Jeffrey dan Aleta duduk di dalam mobil yang masih terparkir di area parkir TPU. Aleta duduk menatap kearah depan, tanpa benar-benar tau sebenarnya apa yang sedang ia lihat.
"Tapi satu hal yang baru aku sadari kemarin, aku lupa suara papi."
Jeffrey menoleh, menatap Aleta yang masih dengan tatapan kosongnya sejak keluar dari area pemakaman.
"Setiap lihat suatu foto, dikepalaku selalu mutar memori di momen itu. Dan kemarin pas aku lihat-lihat fotonya lagi, memori itu ada dikepalaku. Aku tau apa yang lagi kita obrolin, aku tau apa yang papi omongin, tapi aku nggak dengar suaranya. It's weird."
Aleta menoleh kearah Jeffrey, "Kata orang, butuh tujuh tahun untuk kita mulai lupa sama suara orang yang sudah meninggal. But it's only been three years, not even close to seven and I've already forgotten his voice."
Jeffrey belum pernah merasakan ditinggal untuk selamanya, Jeffrey belum tau rasa sedih yang dirasakan saat kita mulai melupakan suara seseorang.
"Aku nggak pernah kepikiran sedikitpun, kalau manusia bisa melupakan suara manusia lain. Aku kira semua hal tentang orang terdekat kita itu abadi."
Yang Jeffrey tau, kata sabar dan ikhlas bukan kata yang dapat ia ucapkan kepada orang yang sedang berduka. Jadi laki-laki itu hanya bisa menggenggam tangan perempuan disampingnya, mengusap punggung tangannya lembut. Meyakinkan perempuan itu kalau Jeffrey ada disisinya dan Jeffrey mendengarkan semuanya.
"Aku nyesel banget nggak pernah simpan dokumentasi apapun tentang papi. Padahal papi itu selalu mendokumentasikan semua hal, makanya album fotoku banyak. Papi juga suka bikin vlog, padahal jaman itu belum nge-trend ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
MEET CUTE [COMPLETED]
Ficción GeneralAleta seperti diberi kesempatan menjadi pemeran utama dari sebuah cerita yang ia sendiri tidak tau berjudul apa, ia terus ditempatkan pada adegan-adegan tidak terduga yang ia sendiri tidak yakin akan berakhir seperti apa. Bagi Aleta, pertemuannya de...