Tadi itu sepertinya Elard tidak menyebutkan nomor apartemennya. Aku sudah sampai di gedung yang ia beritahu. Namun, tak tahu harus mengetuk pintu yang mana.
Kuputuskan untuk menghubungi pria itu. Sempat tidak dijawab, percobaan kedua baru berhasil.
"Aku udah di apartemen kamu. Nomor berapa?"
Elard menyebutkan nomor, kemudian langsung mematikan sambungan. Tak mempermasalahkan itu, kakiku segera bergerak.
Pintu kamar itu baru kuketuk dua kali, Elard sudah langsung membukanya. Aku dipersilakan masuk tanpa suara. Mengekori langkahnya, jantungku rasanya menari-nari heboh.
Ini pertemuan pertama kami setelah bertahun-tahun. Kurasa setelah 20 tahun. Belum lagi, jumpa kali ini kami akan membahas sesuatu yang penting.
Perjodohan.
Lama tak saling mengabari atau berjumpa, tiba-tiba saja orangtua kami memberitahu bahwa mereka ingin kami menikah. Aku tentu tak akan menolak. Aku sudah naksir dia sejak umur 8 tahun. Pernah naksir, tolong dicatat. Namun, sepertinya Elard tidak begitu.
Dari caranya merespon pesan-pesan yang kukirim, pria itu agaknya menentang perjodohan ini. Dia bahkan terus-terang mengaku bahwa aku ini bukanlah wanita tipenya.
Kupikir, itu karena dia belum melihatku lagi, setelah 20 tahun berlalu. Karena itu, aku mencetuskan ide ini. Kami harus bertemu, jumpa muka, agar dia tahu kalau aku bukan bocah ingusan yang bertahun-tahun lalu mengaku suka padanya.
Namun, setelah sampai di apartemen ini, aku jadi paham. Elard memang tak tertarik pada perjodohan ini.
"Aku mengganggu?" tanyaku dengan nada canggung.
Seorang perempuan muda keluar dari kamar Elard beberapa saat tadi. Mengenakan kemeja Elard, tak terlihat seperti teman kantor yang datang untuk urusan pekerjaan.
Aku menemukan ada bercak merah di leher jenjang perempuan bertubuh bagus itu.
Wajahnya berseri-seri.Elard yang tak mengenakan kaus dan hanya memakai celana pendek, berdiri tepat di depanku. Pria itu menggeleng, matanya menghunus tepat ke mataku. Seolah sedang meneliti.
"Kenalkan," katanya. "Ini Vista, pacarku."
Aku hanya bisa mengangguk paham. Tidak ditawari, aku mendaratkan bokong di sofa Elard. Untuk sesaat, tatapanku nanar.
Jadi, ini? Ini alasan dia bersikap enggan pada perjodohan kami?
Kurasa aku bisa mengerti sekarang.
Menoleh pada Elard yang tampak mengerutkan dahi, aku berusaha mencari solusi. Ini rumit. Jauh lebih rumit dari dugaanku.
"Kenapa? Kamu gak nyangka kalau aku punya pacar?" Elard bertanya sembari ikut duduk. Pria itu menarik pinggang Vista, membuat perempuan itu duduk di atas pangkuannya.
Mereka berhadapan. Mereka berciuman. Elard mencium Vista tepat di depan mataku.
"Aku enggak pernah dengar. Pun, kamu enggak gamblang memberitahu."
Rasanya kakiku lemas. Perutku geli menyaksikan live aksi Elard dan kekasihnya itu. Tadinya hanya berciuman, sekarang mereka sudah saling menyentuh dada masing-masing.
Mataku spontan memejam. Jemari kakiku menekuk, saat telinga disuguhi suara melenguh dari Vista yang menengadah. Mengintip dari salah satu mata, aku mendapati wajah Elard sudah di dada perempuan itu.
Sepertinya aku ini memang menggangu mereka.
"Jadi?" Pertanyaan Elard itu diselingi deru napasnya yang berat. Bisa kulihat ada kabut nafsu di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...