Sejak kecil, aku itu tak punya banyak teman. Sampai SMP, aku bertanya-tanya kenapa demikian. Akhirnya, satu hari Mas Daru memberi jawaban yang menurutku pas.
Kata Mas Daru, aku itu tipe orang yang suka sekali ikut campur urusan orang lain. Satu contoh, waktu SD. Aku melihat teman sebangku yang pendiam ternyata sering dipalak oleh kakak kelas.
Kasihan, sadar tak berani melawan yang senior, aku mengadukan itu pada guru kami. Aku, teman sebangku, dan kakak kelas itu dipanggil. Aku sudah senang karena si jahat akan dihukum, nyatanya, hari itu aku kehilangan teman.
Teman sebangkuku marah. Katanya, aku sengaja melakukan itu supaya dia makin dirundung oleh si kakak kelas. Padahal, niatku sama sekali bukan itu.
Alhasil, teman sekelasku mengingkari apa yang kuadukan. Aku dinasihati guru agar tak berbohong, teman sebangkuku itu pindah.
Kata Mas Daru, tidak semua orang bisa mengerti apa maksud sikap kita. Dikatakan dengan jelas saja, kadang masih ada orang yang salah paham. Jadi, aku disuruh tidak ikut campur masalah orang lain sejak itu. Sekali pun itu hanya sekadar memberi saran.
Itulah mengapa temanku cuma Lukas. Maksudnya, mantan temanku. Kira-kira, apa dia masih menganggap kami teman, ya?
Ah, entahlah.
Kemarin itu, saat marah-marah pada Elard di apartemen, sepertinya aku sudah melanggar nasihat Mas Daru. Aku kembali mencampuri urusan orang lain. Aku memberi saran pada Elard, pun sempat menyumpahi dia segera kena karma. Alhasil, aku kena batunya.
"Kakinya perlu di-gips dulu. Sementara pakai kruk, ya?"
Seorang dokter mengatakan itu pada Mas Daru. Kakakku itu datang tiga puluh menit yang lalu. Sudah sempat mengomel karena aku tidak hati-hati mengemudi, dan berakhir jatuh dari sepeda motor.
Aku mengangguk pada dokter tadi, berusaha tersenyum pada Mas Daru yang cekungan di antara alisnya makin dalam.
Si dokter pamit, Mas Daru menatapku penuh selidik. Sepertinya, dia tidak sepenuhnya percaya pada ceritaku tadi.
"Beneran enggak ada apa-apa, Shana? Kok bisa kamu jatuh dari motor? Pas lagi perjalanan pulang dari apartemen Elard pula."
"Namanya juga nahas, Mas," elakku sembari duduk.
Aku menatapi pergelangan kaki kiriku. Kalau saja aku lebih hati-hati. Kalau saja tak menangis saat mengemudi motor, mungkin tidak akan jadi begini.
"Ayo pulang, Mas. Aku mau tidur," bujukku pada Mas Daru sembari memegangi tangannya.
Kakakku itu mengembuskan napas. Tampak masih ada yang mengganjal di pikirannya. Dia ini memang hebat. Tahu saja kalau aku sedang menutupi sesuatu.
Mas Daru mengambil, kemudian memposisikan kursi roda di depanku. "Hari ini sampai besok, pakai ini dulu. Biar kakinya enggak terlalu capek." Dia membantuku turun dari ranjang.
"Maaf ya, Mas Daru," ucapku penuh sesal.
Permintaan maaf itu bukan semata karena akan menyusahkannya sebab kakiku sakit. Namun, karena kesalahan fatal yang kemarin aku lakukan. Mungkin, karena menutupinya dari Mas Daru, aku jadi kena balasan. Makanya kecelakaan.
"Bohong, 'kan? Kamu nutupin apa dari aku?"
Duduk di kursi roda, aku tersenyum lebar. "Enggak ada," kataku sambil menggeleng. "Ayo pulang. Aku juga gerah, mau mandi."
Pria itu mengangguk. "Cuma kakinya yang sakit, Shana? Yang lain enggak ada?"
Ada, Mas. Hatiku sakit. Karena setelah ini aku harus segera bilang pada ayah untuk membatalkan perjodohan dengan Elard.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...