Seharian ini ponselku tak berhenti berdenting. Entah itu pesan atau bahkan panggilan. Mulai dari Lukas sampai Mas Dharma. Semuanya kuabaikan, karena masih lebih suka berbaring di kasur dan bermalas-malasan.
Hari kedua setelah kejadian aku memutuskan hubungan dengan Elard, rasanya masih sulit untuk keluar kamar atau bertemu orang lain. Semua mendadak tak enak untuk dilakukan. Rasa-rasanya aku masih ingin menangis.
Rumit sekali, ya, perasaan itu. Aku yang ingin melakukan ini semua. Melepas Elard, agar pria itu bisa bersama Vista dan tak terbebani dengan perjodohan kami. Namun, aku juga yang merasa sedih karena kehilangan dia.
Aku teringat perjumpaan pertama dengan Elard. Serta mengapa aku bisa menyukai lelaki itu, bahkan meminta ayah untuk menikahkan kami.
Tempat pertama kami bertemu adalah kampus. Sore itu aku diajak ayah ke sana. Diminta menunggu ayah di dekat mobil di parkiran kampus, Elard mendatangiku. Kami berkenalan.
Selanjutnya, pria itu muncul di rumah. Awalnya aku tak tahu mengapa dia datang ke rumah kami. Belakangan aku diberitahu ayah jika Elard hendak mengantar tugas.
Kami banyak mengobrol di beberapa kali kedatangannya ke rumah. Di saat itu aku mulai merasa ada yang lain. Dia berbeda. Elard berbeda dengan semua lelaki yang pernah kutemui.
Bukan karena dia sangat tampan dan manis ketika tersenyum. Bukan pula karena sikapnya yang selalu perhatian dan baik padaku. Namun, ada hal lain.
Elard tak sama dengan Ayah, Mas Daru, atau sepupu laki-lakiku yang lain. Aku menyadarinya saat dia tak datang sesuai janji dan aku tak bisa memaksanya melakukan itu.
"Mas Elard janji datang, Ayah. Kok dia bohong sama aku?" protesku pada Ayah sore itu.
Ayah menjelaskan, "Mas Elard datang kalau harus kumpulkan PR ke ayah."
Diliputi perasaan kecewa, waktu itu aku meminta ayah memaksa Elard datang. Aku kesal sebab ayah menolak, padahal sebelumnya, hampir setiap permintaanku tak pernah tidak diwujudkan.
Ketika itu, walau masih kecil, aku menyadari satu hal. Elard bukan ayah, Mas Daru atau sepupu lelakiku yang lain. Yang selalu bersedia melakukan apa yang kumau, datang saat aku meminta. Mereka kerabatku, aku yang kecil kala itu menyebut mereka milikku.
Namun, tidak dengan Elard. Elard bukan kerabatku. Laki-laki itu punya kehidupannya sendiri kata Mas Daru. Dan aku tak berhak mengatur atau meminta sesuatu darinya.
Mulanya, kuanggap itu perasaan kekanakan. Sampai waktu aku duduk di bangku SMA dan mulai mampu mencerna perasaan pada lawan jenis.
Elard bukan pria pertama atau satu-satunya yang pernah mengajari melakukan sesuatu. Namun, ketika lelaki itu menawarkan diri untuk mengajari naik sepeda, aku luar biasa senang.
"Ayah enggak bolehin aku naik sepeda. Katanya, nanti jatuh. Mas Daru juga," aduku pada Elard waktu itu.
Elard membalas dengan senyuman. Senyum teduh yang membuatku selalu merasa nyaman bersamanya.
"Memang harus jatuh. Tapi, jangan cemas. Nanti, aku jagain. Aku jagain biar nggak jatuh. Kalau pun harus jatuh, aku bantu obatin nanti. Jangan takut."
Begitu dia menenangkanku waktu itu. Membuatku punya keberanian untuk mencoba naik sepeda dan merasa senang luar biasa. Dan aku akhirnya tahu bahwa perasaan senang itu adalah awal dia mendapat tempat istimewa di hati.
Waktu berlalu. Entah karena apa, Elard tak lagi datang ke rumah. Aku menitip pesan pada ayah untuk meminta lelaki itu datang. Namun, Elard tak pernah lagi menunjukkan wajah padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...