"Hari ini saya melihat kepolosan dan keluguan di mata kamu, yang anehnya membuat saya antara haruskah mencemaskan kamu atau gak."
Mampus. Otakku korsleting. Saat ini, melihat pria itu tersenyum dan mendengar pengakuan barusan, aku punya keinginan gila.
Kenapa aku ingin sekali memajukan wajah, mendekat padanya dan menciumnya?
Shana? Kamu sehat? Sepertinya tidak.
Cepat-cepat kupalingkan wajah ke luar jendela. Mencoba menormalkan detak jantung, sembari mengingatkan diri untuk tak aneh-aneh.
Memang, perkataan tadi itu terdengar manis sekali. Elard seolah sedang memberitahu kalau kehadiranku mengusiknya. Apa tadi katanya? Mengkhawatirkan aku?
Ah, tolong. Kenapa pipiku panas? Harusnya aku tak besar kepala, 'kan? Elard kan tidak menyukaiku. Yang tadi itu hanya ungkapan ... apa, ya? Harus bagaimana aku mengartikan yang tadi itu?
"Na, kamu masih suka saya?"
Spontan aku memeluk tas. Kenapa dia harus bertanya begitu?
"Dulu, waktu kamu masih usia delapan. Kamu pernah bilang ingin menikahi saya. Masih ingat itu?"
Kepalaku menggeleng ingkar. Elard tertawa.
"Iya, iya. Aku masih ingat," aku-ku kemudian. Kenapa pembicaraan kami malam ini jadi ke mana-mana?
"Sekarang masih suka?"
Entah kenapa, aku tidak mengelak kali ini. Aku menatapnya lurus, tepat di mata. Kemudian, menjawab yakin.
"Masih. Barusan sadar." Napas kuembuskan pelan dari mulut.
Pria itu menatapku tanpa ekspresi. Kutahan keinginan untuk mengumpati diri. Nanti saja, kalau sudah di rumah. Sumpah, aku malu.
"Karena itu," sambungku. "Selama sisa beberapa minggu dari perjanjian tiga bulan kita, jangan lakukan hal aneh."
Elard menghentikan mobil. Dia balas menatapku. "Hal aneh?"
"Kayak yang tadi. Pengakuan kamu bisa aja bikin aku salah paham. Dan aku enggak mau ikut-ikutan melakukan hal aneh juga."
"Misalnya?"
Oh, dia menantang? Kenapa tatapannya seolah memprovakasi aku untuk melakukan hal aneh yang sedari tadi terus muncul di kepala?
"Misalnya, Na?"
Tanpa berpikir dua kali, aku melepas seat belt. Sedikit mengangkat tubuh dan mendekat padanya, aku memiringkan wajah untuk bisa mengecup bibir lelaki itu.
Aku sudah pernah melakukan ini. Pertama, waktu ingin lari darinya, kulakukan di meja makan rumah ayah. Kedua, saat di pantai, demi menghindari Riel. Dan ini yang ketiga.
Kali ini tak ada tujuan, aku hanya ingin melakukannya saja. Karena itu, saat mempertemukan bibir kami, mataku memejam. Pria satu ini terasa lembut sekali di bibirku.
Semoga Mas Daru tidak tahu kelakukanku ini atau dia akan mati berdiri.
Menyudahi kecupan singkat itu, aku menjauhkan wajah sedikit. Menatap matanya yang terlihat menyorot terkejut, aku merasa tubuhku mengecil di dalam mobil yang mendadak atmosfernya jadi terasa gerah, tetapi manis.
"Bocah yang dua puluh tahu lalu mengaku suka sama kamu, udah dewasa. Dan di mata dia, kamu masih mempesona, meski udah om-om." Aku bicara tepat di depan wajahnya, semoga napasku tidak bau aneh.
Ah, aku gemetar. Kenapa bisa perasaan berdebar yang kualami dua puluh tahun lalu, hadir kembali?
Elard tak memberikan respon apa-apa. Kukira dia sedang terkejut. Atau, lelaki itu sedang mengatai aku gila. Jadi, aku ingin kembali ke kursi. Namun, tiba-tiba saja tubuhku diangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...