Bab 21 - "Berhenti, Naya."

763 53 2
                                    

"Shana, tolong jenguk Elard di apartemennya. Dia lagi sakit, tapi tidak mau Tante suruh pulang."

Kalau saja tidak dimintai tolong oleh Tante Andini, sudah pasti aku tak akan mau datang ke apartmen Elard. Aku kan sedang dalam misi menghindari dia, demi terjaganya kewarasan. Namun, menolak perintah Tante Andini pun aku tak tega.

Membawa bubur buatan Mbak Arini, aku tiba di apartemen Elard sekitar pukul tiga sore. Sempat berharap dia tidur saja, agar tak tahu aku datang. Namun, harap tinggal harap.

"Masuk," katanya sambil membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan aku masuk.

Aku sempat enggan. Mengingat terakhir kali kemari aku hampir lupa diri. Namun, bukankah Elard sedang sakit? Sepertinya tak ada yang harus dicemaskan. Semoga.

Baru saja kakiku menapak di dalam apartemennya, mataku langsung disuguhi pemandangan rok tercecer di lantai.

Haduh. Apes. Apes. Sial.

Pura-pura tak terganggu, aku terus berjalan. Saat akan memeriksa sofa, Elard sudah lebih dulu datang sembari membawa selimut hitam.

"Ini baru, bersih." Dia melebarkan selimut itu di atas sofa. Membiarkannya menjadi alas dudukku.

Hatiku rasanya diremas melihat perlakuan ini. Itu artinya, sofa ini memang mereka pakai tadi?

"Ini bubur dari Mbak Arini. Aku datang karena diminta Tante Andini. Katanya kamu sakit." Aku tersenyum sinis di akhir kalimat.

Sakit apanya? Dia sehat. Terlampau sehat hingga bisa meniduri perempuan.

"Saya memang sakit." Dia duduk di depanku. Membuka kotak bekal berisi bubur, kemudian mulai makan.

Tak bersuara, aku meneliti wajahnya. Eh, benar. Dia tak terlihat segar. Sedikit pucat dan lesu. Tapi, kenapa bisa bercinta?

"Pak Elard, rok aku di--"

Menemukan Vista keluar dari kamar, dengan hanya menggunakan celana dalam, aku langsung memalingkan wajah. Aku mengutuki Elard dalam hati. 

"Maaf, Shana. Aku enggak tahu kamu datang." Vista kembali masuk ke kamar.

Elard bangkit dari sofa, kemudian mengambilkan rok Vista. Aku menatapi lelaki itu dengan raut jijik dan marah.

Vista menghilang di balik pintu kamar, aku mengepalkan tangan melihat Elard kembali makan dengan tenang.

"Kamu gak bawa obat sekalian? Saya belum makan obat apa pun sejak kemarin."

Aku teringat ucapan Vista dua hari lalu. Perempuan itu mengaku sudah berusaha bicara dengan Elard soal hubungan mereka. Menurut Vista, ia sudah secara jelas mengatakan kalau ingin dinikahi. Namun, Elard dengan gampangnya memita Vista tak lagi bicara soal itu.

Elard bahkan berkata kalau Vista ingin, perempuan itu bisa menyudahi hubungan simbiosis mereka, jika memang sudah bosan. Kata  Vista juga, seminggu belakangan Elard sama sekali tak menemuinya. Laki-laki itu marah katanya. Dan aku tak habis pikir.

Hari ini, aku datang dengan niat baik. Meski setengah terpaksa. Aku bawakan bubur, pun sempat cemas karena mengira dia sungguh tidak sehat. Namun, apa? 

Dia membiarkanku melihat rumahnya yang berantakan. Dia tak sungkan saat aku memergoki Vista ada di sini. Dan dia sama sekali tak merasa malu atau menyesal.

Aku muak dan marah atas sikapnya ini. Sebenarnya, lelaki dewasa ini menjalani hidup yang bagaimana?

"Jangan menatap saya seolah kamu ingin mengunyah saya, Na. Kamu mau mengatakan sesuatu?"

I Love You, Om Pacar! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang