Bab 26 - Keputusan Shana

790 56 3
                                    

Sepanjang perjalanan pulang dari pasar malam, aku sama sekali tak berani buka suara. Terlebih setelah Vista diantar duluan. Untuk menatap ke depan, pada Elard yang mengemudi saja, rasanya aku tidak sanggup.

Aku takut, menyesal dan juga sedih. Karena ketelodoranku, Elard jadi celaka. Sikunya terluka dan sampai sekarang masih mengeluakan darah.

Serta merta kenangan waktu kami pergi liburan bertiga menyeruak dalam ingatan. Saat itu, aku juga membuat Elard susah seperti ini. Bahkan, pria itu terpaksa mengacaukan liburanya dengan sang pacar, hanya demi mengurusiku.

Apa kata Elard? Kekanakan.

Jika dulu aku membantah bulat-bulat tuduhan itu. Dengan membawa semua hal tidak berguna sepeti pekerjaan sampingan dan jumlah uang tak seberapa yang kumiliki, sekarang agaknya julukan itu harus aku terima.

Aku memang kekanakan. Ceroboh. Tidak pikir panjang.

Kenapa aku tak bsa berpikir seperti Elard? Kalau saja tidak terlampau impulsif dan langsung memungut cincin tadi, sudah pasti semua tak akan jadi begini.

Bagaimana jika tadi Elard ikut celaka, tertabrak mobil, hanya karena berusaha menyelamatkanku?

Aku tak mau dan tak bisa membayangkannya. Terlalu menakutkan.

Tak lama, mobil kami sampai di rumah ayah. Aku gegas membuka pintu dan turun dari sana. Namun, kudengar mesin mobil dipadamkan. Elard juga turun, alih-alih segera pulang.

"Om?" cegahku saat lelaki  itu melangkah lebih dulu menuju undakan tangga menuju teras.

Dia menoleh, kemudian berjalan cepat menghampiri. Ada kilat resah di kedua matanya.

"Kenapa? Ada yang sakit?" Pria itu memegangi dua bahuku, sedikit membungkuk untuk memindaiku dengan tatapan.

Aku menggeleng. "Kenapa turun? Langsung pulang aja."

"Saya harus bicara dengan Om Ares." Selagi berucap matanya bergulir menuju punggung tanganku yang lecet.

Aku langsung paham yang dia maksud. "Enggak perlu. Pulang aja. Aku bisa jelaskan ke ayah."

Daripada harus singgah, lebih baik dia segara pulang dan mengobati lukanya. Namun, Elard tak menerima saranku tadi. Pria itu  meraih pergalangan tanganku dan mulai mengambil langkah menuju rumah.

Ayah dan Mas Daru tampak terkejut saat kami menampakkan diri. Wajar saja mereka begitu. Kami pamit untuk bermain ke pasar malam. Namun, malah pulang dengan beberapa luka, alih-alih senyum cerah.

"Enggak pa-pa, Ayah. Cuma lecet," kataku berusaha menenangkan Ayah dan Mas Daru, usai Elard menjelaskan apa yang terjadi.

Meski tak sepenuhnya menghapus raut gusar di wajah, tetapi aku lega karena ayah dan mas Daru tidak memperpanjang masalah itu.

"Sekali lagi saya mohon maaf, Om."

Pada Elard yang kembali menyuarakan rasa menyesal, aku menatap susah. Kenapa pria itu keras kepala sekali? Harus berapa kali kukatakan jika dia tidak salah?

"Ini bukan salah kamu, Om," sanggahku dengan suara putus asa.

Elard menengok. Wajahnya yang lesu langsung membuat perasaanku makin tidak enak.

"Salah saya, Naya. Saya gak bisa menjaga kamu. Ha--"

"Kenapa kamu harus jagain aku?!" selaku dengan emosi naik.

"Karena saya harus," jawabnya bersikeras.

Kami berpandangan, saling berkeras dengan pendapat masing-masing. "Kenapa?! Memang kamu siapa? Aku udah bilang, ini sa--"

I Love You, Om Pacar! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang