Aku tersentak karena merasa baru saja jatuh dari tempat tinggi. Terjaga, aku menemukan Mas Daru berbaring di sebelah. Dia memelukku.
Kepalaku sedikit pusing. Saat akan mengucek mata, baru aku sadar kalau ada jarum infus yang menempel di punggung tangan. Ingatan langsung dipenuhi kejadian saat akan pulang dari rumah Lukas.
"Ada yang sakit?"
Aku menoleh. Ternyata Mas Daru sudah bangun. Padanya, aku menggeleng.
"Mau sesuatu?"
Kembali aku menggeleng. "Maaf," ucapku penuh sesal. "Aku tidur berapa lama?"
Mas Daru memelukku agak kuat beberapa saat. Dia menunduk dan menatapku sendu. "Dua hari sama ini."
Pria itu tak mengatakan apa-apa lagi dan hanya terus memandangi. Aku yakin, dia paham apa yang terjadi. Karenanya tak lagi banyak bertanya.
"Aku kangen Ibuk kayaknya." Sengaja aku mendekat padanya agar bisa menyembunyikan wajah di bawah dagunya. Tak mau dilihat sedang menderita.
"Kamu mikirin kejadian itu lagi?"
"Enggak, Mas. Aku cuma tidur sebentar, eh mimpi Ibuk. Aku kangen kayaknya."
Mas Daru mengusapi kepalaku. "Mas nggak akan bosan bilang ini. Yang terjadi sama Ibuk, itu memang takdir. Kamu sama sekali nggak salah. Semua itu memang udah digariskan harus demikian."
Hatiku perih mendengar itu. Tak bisa kutahan, hujan dari mata kembali turun. Haruskah aku membalas ucapannya itu? Aku juga tak akan bosan mengingat, bila yang menyebabkan ibu kami meninggal memang aku.
"Nggak ada yang salahin kamu. Ayah atau aku, kami nggak pernah menyalahkan kamu."
Mas Daru memang benar. Sejak kejadian itu, memang tak ada yang menyalahkanku. Namun, aku tak bisa tutup mata akan fakta bahwa memang akulah penyebab ibu meninggal.
"Jadi, berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Mas nggak mau kamu kayak kemarin lagi."
"Aku ngerepotin, ya? Mas di sini sejak kemarin?"
Kakakku itu memukul punggung pelan. "Kamu tahu bukan itu yang aku maksud."
Mendongak dan membuat senyum, aku mengangguk. "Aku lapar ngomong-ngomong."
Sudah cukup membuat pria itu susah. Sekarang saatnya mengurusi diri sendiri. Aku harus tampak baik, supaya dia dan ayah tak lagi cemas.
"Sebentar Mas ambilkan, ya."
Dia sudah turun dari ranjang. Aku menggeleng. Kurentangkan kedua lengan padanya.
"Mau sarapan di meja makan."
Pria itu memicing sangsi. "Udah kuat duduk?"
Aku segera duduk di tepian kasur. Agak pening, tetapi masih bisa ditahan. Sekalian aku lepas jarum infus.
"Shana!"
"Pengin makan di bawah, Mas. Kalau enggak mau bantuin, ya, udah. Aku jalan sendiri."
Tiba di ruang makan, aku terkejut sekali karena menemukan ada Lukas dan Elard di sana. Mau apa dua pria aneh itu datang ke rumahku pagi-pagi begini?
"Kenapa dibawa turun, sih, Mas! Kamu ini memang keras kepala apa gimana?" Sembari mengomel, Mbak Arini membantuku duduk.
Perhatianku teralihkan dari Lukas dan Elard, sebab wanita itu terlihat heboh sendiri. Ia memeriksa wajahku. Merapikan rambut, kemudian memeriksa suhu tubuh. Selagi melakukan itu, tak berhenti dia mengomeli Mas Daru.
"Aku yang mau turun, Mbak," kataku untuk menghentikan kepanikan wanita itu.
Mbak Arini memelukku lama sebelum duduk di kursinya. "Mbak Gita, tolong kabarin Om Hari, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...