"Mas Daru!" Aku mengejar Mas Daru yang sudah akan berangkat ke kantor.
Kakakku itu menoleh dengan ekspresi bingung.
Aku memposisikan diri di sampingnya. Mendekatkan kepala ke dia, mengukur tinggiku.
"Tingginya Mas Daru 170 cm kan, ya?" Aku memastikan.
Dia mengangguk.
"Aku setelinganya Mas Daru, artinya aku enggak pendek, 'kan, ya? Enggak kek bocah?"
Kakakku terbahak. Dia mengajak rambutku. "Mas berangkat dulu. Jangan lupa, nanti calon mertuamu datang."
Kubalas pelukanya dengan tepukan di punggung. Ayahnya Varo itu meringis, lalu berlari kabur.
Kalau dia tidak kabur, memang akan kupukul lagi.
Aku kesal. Bukan pada Mas Daru. Namun, pada Om Elard.
Kan, kemarin dia mengajakku beli es krim. Nah, pas waktu akan membayar, mbak kasirnya sengaja tidak memasukkan es ke dalam plastik. Langsung diberikan padaku yang memang menemani Elard membayar.
"Adiknya Mas habis nangis, ya? Biar nangisnya udahan. Diambil aja es-nya."
Mbak kasir itu salah paham karena mengira aku adiknya Elard. Aku tidak marah. Kan dia tidak tahu. Yang bikin keki itu reaksi Elard.
Pria itu puas sekali mendengar si mbak bicara begitu. Dia makin gencar mengataiku bocah. Sebenarnya, aku ini terlihat seperti bocah, dari sisi mananya?
Tinggi? Aku lumayan. Pun, wajahku juga terlihat tua kata Ayah. Statusku janda pula. Jadi, dari bagian mananya aku ini mirip bocah?
Demi Tuan Krab si kepiting, aku ini sudah berumur. Dua puluh delapan tahun itu usia yang matang. Teman sebayaku bahkan sudah ada yang punya dua anak.
Aku memang belum punya anak. Namun, aku kan sudah pernah menikah. Jadi, kenapa Om satu itu terus menganggapku bocah, sih?
Apa karena dandananku, ya? Memang, sih, aku tak pernah memoles bibir dengan lipstick merah menyala. Juga, aku tak pernah mengikat atau menata rambutku aneh-aneh. Namun, apa semua itu bisa dijadikan landasan mengatai aku ini memang bocah?
Atau .... Ah, mungkin di situ masalahnya. Baik. Hari ini aku akan sedikit mengubah penampilan. Biar terlihat lebih dewasa.
***
"Shana?" Suara Mbak Arini terdengar shock. Kakakku itu bahkan menutup mulutnya dengan tangan.
"Gimana? Pantas enggak aku pakai ini?"
Mbak Arini menghampiri. Memutar tubuhku beberapa kali, sembari mengamati.
"Cantik kamu itu diapain aja," katanya dengan senyum tulus. "Tapi, Mas-mu nggak akan kasih izin kamu pakai baju ini ke luar rumah."
Aku tersenyum kuda. Aku tahu itu. Dan cukup sadar diri juga. Kalau aku keluar dengan pakaian begini, bisa masuk angin.
Gaun hitam ini tanpa lengan. Hanya tali kecil yang menyangganya di bahu. Pun, panjangnya hanya setengah paha. Malu aku kalau dilihat orang banyak berpenampilan seperti ini.
Tujuanku mencoba gaun ini cuma satu.
"Mbak, kalau pakai baju gini, aku kelihatan kayak umur berapa?"
Mbak Arini mengernyit. Tangan perempuan itu menyelipkan helai rambutku ke belakang telinga.
"Kayak bocah atau enggak?"
Ibunya Varo menggeleng.
Aku mengangguk puas. "Seksi kan, ya? Walau ala kadarnya. Kelihatan pantas, kan? Enggak kayak bocah didandani biar kayak orang dewasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...