Mengepalkan kedua tangan, aku berharap tak lagi menangis. Namun, begitu melihat pusara ibu, air mata tumpah begitu saja. Aku rindu sekali.
Tiap ke sini, aku memang hanya akan duduk. Membacakan doa lalu, diam saja. Aku tak berani mengatakan apa-apa. Takut ibu masih marah padaku.
Biasanya, aku ke sini bersama Mas Daru. Tidak pernah bersama Ayah, karena tak ingin beliau melihatku menangis. Jika bersama Mas Daru, pasti sekarang aku sudah memeluknya dan menangis kencang.
"Na?"
Kuhapus air mata di pipi. Pada Elard yang barusan memanggil aku menoleh.
"Daru bilang, tiap kali ke sini kamu gak pernah bilang apa-apa. Memang, gak ada yang mau kamu sampaikan sama Tante Linka?"
Aku menggeleng takut. Apa aku masih punya hak mengatakan sesuatu pada ibu, sementara akulah yang membuat wanita itu kehilangan nyawa?
Kurasa tidak.
"Gak pa-pa, Na. Siapa tahu, dengan kamu bicara sesuatu, hatimu akan jadi
lebih lega."Aku menggeleng. Merasa terdesak, aku putuskan tak mau berlama-lama. Usai mengusap nisan ibu, aku pamit.
"Tolong turunin aku di hotel dekat sini, ya," pintaku saat mobil Elard sudah meninggalkan area pemakaman.
Rasanya kondisiku belum membaik. Tak mungkin pulang dengan keadaan begini atau seluruh rumah akan kerepotan lagi. Jadi, lebih baik mengungsi dulu. Minimal sampai malam nanti.
"Mau apa kamu?"
Sambil mengatur napas, aku menjelaskan, "Kalau aku pulang dengan keadaan begini, mereka bisa cemas lagi."
Lelaki itu menepikan mobil. Dia meraih pergelangan tangan dan memeriksa denyut di sana.
"Sesak?"
"Enggak. Cuma agak lemas. Tidur beberapa jam mungkin bisa balikin tenaga."
Kudengar Elard menghela napas. "Di apartemen saya aja. Jangan protes atau saya adukan kamu pada Om Ares."
***
"Na?"
Panggilan yang terdengar asing itu membawa kesadaranku pulih perlahan.
"Na? Makan dulu."
Siapa, sih, yang memanggilku begini? Terdengar menggelikan sekali.
"Bocah, bangun dulu."
Mataku langsung terbuka. Aku kenal panggilan terakhir itu. Dan benar saja. Ada Elard di depan mata.
Pria itu ternyata punya sisi baik juga. Tak kusangka dia akan benar-benar mau meminjamkan kamarnya. Bahkan, sempat mengganti seprei karena aku tak mau memakai bekasnya. Namun, bukan berarti aku terbuai. Aku tahu, dia pasti punya maksud.
"Makan dulu. Udah jam tujuh."
Kubawa tubuh untuk duduk. Merapikan rambut sebentar, kemudian turun dari kasur untuk ke kamar mandi.
"Pinjam kamar mandi," izinku padanya.
Selesai dari kamar mandi, aku diminta Elard ke meja pantry. Disuruh duduk, tak lama sepiring nasi putih dengan tumis brokoli dan ayam goreng pria itu hidangkan.
Memang lapar, jadi aku tak banyak bicara dan mulai makan. Sesekali aku mengernyit pada Elard yang setia berdiri di seberang, menontoni.
"Makasih. Ini enak. Beli di mana?" kataku berbasa-basi.
Elard berdecak. "Saya masak sendiri kalau kamu mau tahu. Sama-sama."
"Kenapa?"
"Apanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
Любовные романыPertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...