Ini semua demi membuat ayah senang. Kemarin itu, sebenarnya aku sudah punya rencana membawa laptop. Firasatku bilang liburan ini tak akan berhasil, sebagaimana yang ayah harapkan. Namun, benda itu tak jadi kubawa karena dilarang ayah.
Tiga hari, bersama Elard dan Vista tanpa laptop, rasanya benar-benar tersiksa. Aku hanya bisa mengurung diri di kamar. Tak berani keluar, bahkan untuk sekadar menikmati sunrise atau sunset.
Kemarin pagi, aku sudah mencoba keluar. Ingin lihat matahari terbit dari balkon di belakang. Namun, yang kulihat sebelum sunrise malah membuat suasana hati jadi buruk.
Aku melihat Elard dan Vista. Pasangan yang dimabuk asmara itu sedang memadu kasih di balkon belakang kamar mereka yang memang berada tepat di samping kamarku.
Polusi mata.
Aku langsung masuk ke kamar dan melewatkan matahari terbit kemarin. Karena itu, sampai sekarang matahari sudah terbenam di hari kedua, aku masih tidak ingin keluar.
Di atas ranjang, menengok kiri dan kanan, aku merengut dan meratap. Kenapa pergi liburan aku malah makin suntuk? Rasanya ingin sekali keluar, tetapi ragu. Karena sungguh, aku tak mau disuguhi pemandangan Elard dan Vista lagi.
Tidak. Aku bukan cemburu. Sama sekali tidak. Hanya saja ... risih? Ya, risih.
Kuperiksa jam di ponsel. Sudah pukul tujuh malam. Kira-kira, ada Vista dan Elard tidak di luar, ya? Bukan di balkon, kira-kira mereka ada di pantai, tidak?
Aku ingin ke pantai. Melihat-lihat sebentar. Karena, kalau dipikir-pikir, sayang sekali tidak melihat apa pun, sementara sudah jauh-jauh kemari.
Mengintip dari jendela, aku langsung tersenyum senang saat menemukan sisi pantai di depan kamarku cukup lengang. Hanya ada beberapa orang yang lewat. Dan yang paling penting, tidak ada Elard dan Vista.
Menguatkan tekad, aku pun keluar. Turun ke pantai, hatiku langsung disapu dingin yang perih saat angin yang berembus melewati rambut.
Pantai selalu terasa begini sejak hari itu. Menakutkan, dingin dan membuat pedih. Padahal, ini pantai yang berbeda.
Tak peduli sebanyak apa aku berusaha mengenyahkan kenangan pahit itu. Ujung-ujungnya, tetap saja ingatnya ke sana. Maka itu, pantai di hadapanku sekarang berkurang kadar cantiknya.
Awalnya ingin duduk beberapa saat di sini. Namun, sesak dan perih di dada membuat niat itu terkikis. Malas berlama-lama di sini, aku beranjak. Saat berbalik, aku melihat Elard.
"Sendiri?" tanyaku berbasa-basi. Tak ada Vista di sampingnya.
Otakku mulai nakal. Kira-kira, di mana pacarnya Elard itu? Ini baru pukul tujuh malam. Apa sudah tidur? Cepat sekali?
Ah, namanya juga liburan. Pasti lelah. Lelah dihajar Elard tentu saja. Seperti kemarin. Mereka seperti tak tahu tempat saja sampai harus bercinta di balkon yang terbuka begitu.
Uh. Om-om mesum!
Lelaki yang kutanya tak kunjung menjawab. Malah, dia melengos dan berdiri di dekat bibir pantai.
Aku lupa. Kan aku memang obat nyamuk di liburan ini.
Kakiku sudah melangkah semangat menuju kamar. Namun, mata tak sengaja menangkap sosok seorang pria.
Begitu saja langkah terhenti. Jantungku juga ikut diam beberapa detik. Udara di sini seperti bercampur racun, hingga saat aku menghirupnya terasa sakit di sekujur tubuh.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dia ada di sini?
Dari sekian banyak tempat?
Astaga. Ini konspirasi. Pasti semesta sengaja melakukan ini, supaya lebih menyakitiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...