Bab 11 - Siksa Liburan

624 45 4
                                    

Pagi ini, setelah dua hari kemarin absen ikut sarapan, aku akhirnya turun dari kamar. Sebenarnya masih malas bertemu siapa pun, tetapi aku harus memikirkan keluargaku. Mereka pasti mengira aku masih sakit karena kejadian beberapa hari lalu dan cemas karenanya.

Karena tujuanku ikut sarapan adalah demi membuat mereka berhenti khawatir, pagi ini aku sengaja banyak tersenyum. Namun, sikap baik-baik saja yang coba kubangun itu sirna sewaktu ayah memberi sebuah perintah.

"Pergilah ikut liburan bersama Elard."

"Dia mau liburan?" tanyaku masih berusaha tenang. Sebenar-benarnya aku sudah sangat ingin marah-marah.

Liburan bersama Elard? Yang benar saja. Dalam mimpi sekalipun aku tak pernah membayangkan akan melakukan itu. Mau apa liburan berdua saja dengan dia?

Ditambah lagi, aku ini belum benar-benar melupakan kemarahan pada si om satu itu. Meski kemarin dia sempat bersikap sangat baik, aku tetap belum lupa jika dia sudah pernah membuatku harus diomeli ayah.

Ayah mengaku tidak tahu tempat tujuan liburan itu. "Ayah yang minta, Shan. Dia sudah setuju, berjanji akan menyediakan waktu untuk kalian pergi berdua. Tidak lama, hanya tiga hari."

Tidak lama? Tiga hari? Ya ampun. Aku bisa membayangkan tiga hari itu akan seperti neraka.

"Dia setuju?" tanyaku demi mengkonfirmasi.

Ayah mengangguk. "Pergilah ikut, ya?" Beliau melancarkan serangan. Dipegangnya tanganku sembari mengatakan itu. Tatapannya penuh harap. 

Aku menatap ayah sungguh-sungguh. "Ayah enggak takut biarin aku pergi liburan sama dia? Dia itu laki-laki dan aku perempuan, loh?"

Ayah tersenyum. "Ayah kenal Elard. Dia tahu batasan."

Hampir muntah aku mendengar itu. Tahu batasan? Lantas, yang aku lihat Elard lakukan bersama Vista itu apa?

"Pergi, aja, Shan. Itung-itung refreshing." Mas Daru ikut menimpali. Pria itu satu itu memang selalu suka menjadi musuh daripada kawan.

"Lukas kayak--"

"Hanya kalian berdua," potong Ayah. "Kamu bilang butuh mengenal Elard lebih baik, 'kan? Ini salah satu caranya."

Maka pada akhirnya, aku pun tak lagi punya bantahan atau alasan. Liburan bersama Elard, tiga hari? Semoga pulang nanti aku masih hidup.

***

Salah satu alasan aku menentang ide liburan ini adalah karena sadar bahwa hubunganku dengan Elard tidak baik. Kami jarang bicara, kecuali yang kemarin itu. Saat dia membolehkanku tidur siang di apartemennya. Kurasa, kemarin itu dia sedang kesurupan, karenanya berlaku lumayan baik.

Buktinya, beberapa hari ini dia kembali bersikap biasa. Tak peduli. Mengirimiku pesan untuk bertanya keadaan saja, tidak. Malah Tante Andini yang sering menelepon.

Bagaimana bisa kami pergi liburan, sementara untuk bicara saja tidak bisa? Dasarnya, perjodohan ini yang membuat kami berjarak. Dia tidak setuju, aku setengah hati setuju.

Tidak tahu akan diajak ke mana, aku ikut saja dengan Elard. Terpaksa ikut.  Semula, memang hanya kami berdua. Namun, saat di bandara, aku melihat Vista.

Eh, pantas saja dia setuju pada permintaan ayah. Ternyata ada udang di balik batu.

"Akan aneh kalau kita hanya berdua," ucap pria itu saat kami akan masuk  pesawat.

Aku menatap mereka bergatian. Rasanya ingin memaki. Kalau dia bisa menyelipkan Vista, kenapa aku tidak melakukan hal serupa? Harusnya aku tidak terlalu patuh pada ayah dan bisa mengajak Lukas turut serta di liburan terkutuk ini.

I Love You, Om Pacar! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang