Sarapan kali ini berlangsung hening sekali. Hanya celotehan Varo yang mengisi sesekali. Aku tak mau bicara pada siapa pun, pun siapa pun sepertinya tak ingin terlibat obrolan denganku.
Ayah marah. Beliau mengomel. Hanya karena apa? Karena dilihatnya aku menampar Elard dan membuat pipi pria itu tergores.
Ayah tidak tahu saja apa yang sudah Elard katakan padaku. Kalau tahu, ah, tidak usah. Nanti Ayah malah sedih.
"Elard sudah kasih cincin, kenapa kamu malah nampar dia? Jadi, jelas, 'kan? Yang menolak perjodohan ini ya memang kamu. Kamu cuma pura-pura mau pacaran sama dia? Bohong sama ayah, Shanaya?"
Kemarin itu, selama Ayah mengomel, aku sama sekali tak memberi sanggahan apa-apa. Sengaja. Biar beliau tidak kecewa kalau memang aku pura-pura setuju pada perjodohan. Pun agar Elard yang dia puji-puji baik itu tidak terbongkar kebusukannya.
Aku jelas tak akan membuka aibnya Elard pada Ayah. Bisa kena serangan jantung beliau kalau tahu mahasiswa kesayangan dan calon mantu idamannya itu sudah punya pacar.
"Mas Daru, ada Mas Elard di depan. Katanya, mau ketemu Shana."
Kabar dari Mbak Gita itu menghanguskan semua selera makanku. Kalau tidak ingat di sini ada Varo, sudah kulempar sendok di tangan ke lantai.
Ternyata, seburuk ini perangai Elard Albrata itu? Dia pasti sengaja datang setelah semalam berlakon layaknya pria yang tersakiti.
Sial.
Mataku rasanya panas karena barusan menggigit lidah. Hampir saja makian lolos dari bibir ini.
"Oh, ajak ke sini saja, Mbak Gita," kata Mas Daru sembari melirik sekilas padaku.
Mbak Gita pamit, aku sengaja menambah nasi ke piring. Mengambil lauk dan sayur, lalu kembali meneruskan makan. Jika aku pergi, bisa membuat masalah baru. Mas Daru akan ikut-ikutan menasihati.
Jadi, mari seperti ini saja. Aku ahli dalam hal berakting mirip patung.
Tak lama, Ayah datang. Beliau menyambut Om itu dengan ramah. Tak lupa menyelipkan permintaan maaf dan meminta kelakuanku dimaklumi.
Dengan nada suara sok bijak dan senyum palsu seribu wattnya, Om itu meminta maaf balik ke ayah.
"Ini bukan apa-apa, Om," katanya.
Terserah. Terserah. Terserah. Aku tidak peduli.
Mereka makan sesekali berbincang, aku fokus pada piring sendiri. Ketika sudah selesai, aku pamit. Pamit dengan cara wajar. Sebisa mungkin menekan semua emosi dan rasa tak suka pada si tamu kepagian itu.
"Aku naik duluan, ya. Udah selesai. Mau ngerjain sesuatu."
Saat berdiri, tanganku malah ditarik Elard yang memang duduk di sebelah. Padanya, aku melempar tatapan muak. Jijik.
Sudah pasti, dia akan berlakon ini. Yakin aku. Ternyata, tokoh antagonis suka bersandiwara, bukan cuma fiksi, cuma ada di novel. Di dunia nyata juga ada. Itu dia. Si Om Elard.
"Kita harus bicara," katanya dengan senyum licik. Dia bahkan sengaja melirik plester kecil yang tertempel di pipinya.
Aku mengamati wajah keluargaku satu per satu. Apa mereka tak bisa lihat senyum tadi? Apa mereka tidak curiga pada senyum itu? Mas Daru pun melewatkan itu?
Sehalus mungkin, kutarik tanganku darinya. Kepala kugelengkan. "Aku ada kerjaan. Harus selesai sore ini. Lain hari aja."
Elard tak mendengarkan. Kembali diraihnya tanganku. "Sebentar aja. Setengah jam. Oke? Saya belikan camilan?"
![](https://img.wattpad.com/cover/325298748-288-k844484.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...