Bab 24 - Masa Lalu Elard

652 48 3
                                    

Tadinya, aku asal saja mengaku mengantuk pada Elard. Pria itu membawaku ke rumah Tante Andini. Dengan alasan aku ingin melihat-lihat kamarnya.

Tante Andini tak terlihat keberatan. Aku merasa menyesal karena sudah berbohong. Kami dibiarkan berdua, sedangkan beliau akan ke butik.

Elard membawaku ke ruang tidurnya. Lelaki itu hanya menunjukkan kamarnya sekilas.

"Ini kamarku waktu masih tinggal di sini."

Hanya begitu, kemudian membiarkanku meminjam kasurnya. Tadinya hanya asal bicara, aku malah benar-benar tidur jadinya. Tak begitu cemas memakai ranjangnya, sebab tahu pria itu jarang pulang ke sini.

Aku ternyata tidur sampai pukul tujuh malam. Saat terbangun, aku merutuki diri dan gusar. Ini pasti tak terlihat baik di mata Tante Andini.

Sedang sibuk memikirkan harus bersikap macam apa saat keluar dari kamar nanti, aku tak sengaja melihat bingkai foto yang ditelungkupkan di nakas samping ranjang.

Aku menurunkan kedua kaki dan meraih figura itu. Betapa terkejutnya aku melihat foto siapa yang terpasang di sana. Dua orang. Sepasang. Elard dan seorang perempuan yang kupastikan bukan Vista.

Hal yang lebih membuatku terperangah adalah, di foto itu Elard tampak memasang senyum. Pria itu melengkungkan bibirnya, sampai semua gigi depannya terlihat. Satu tangannya merangkul si perempuan.

Otakku mengingat-ingat. Elard tak punya saudara perempuan. Pria itu anak tunggal. Apa salah satu sepupunya? Namun, saat di pesta kemarin, tak kulihat wanita yang wajahnya seperti yang ada di foto.

Lalu, siapa perempuan ini?

"Letakkan itu, Naya."

Karena terlalu terkejut karena tiba-tiba mendengar suara itu, aku nyaris menjatuhkan figura di tangan. Elard datang. Pria itu menatapku dengan sorot yang tak kupahami artinya apa.

"Letakkan, Naya."

Segera kuletakkan bingkai foto itu di nakas. Menatapnya cemas, aku mulai merangkai kalimat. Haruskah bertanya sekarang? Eh, kenapa aku harus penasaran pada perempuan asing?

"Apa? Mau bilang apa kamu?" Lelaki di depanku berkacak pinggang. Alisnya yang tebal terangkat beberapa kali.

"Ka--kamu dari dulu memang hitam manis, ya?" Aku langsung menggigit bibir usai mengatakan itu. Dasar konyol. Kenapa harus itu?

"Rasis?"

Aku menggeleng cepat. "Ka--kamu ...." Aku kesulitan menemukan kata yang pas.

"Saya kenapa?"

"Itu foto waktu kapan?" Aku bernapas pelan-pelan seusai berhasil menyuarakan tanya yang sedikit masuk akal.

"Setahun setelah lulus SMA? Masih kuliah kayaknya. Kenapa?"

Menelan ludah, aku melanjutkan, "Ka--kamu bisa senyum?"

Matanya yang besar itu melotot sebentar. "Memang selama ini saya selalu marah-marah ke kamu? Kamu nyindir saya?"

"Bukan. Bukan gitu. Cuma, aku enggak pernah lihat kamu senyum kek gitu. Terakhir, pas aku kecil. Itu pun enggak selebar tadi. Gigimu sampai kelihatan semua di foto. Enggak kelihatan kayak Elard yang sekarang."

"Memang, Elard yang sekarang gimana?"

Tatapan matanya menjadi lebih dalam. Aku ketar-ketir kalau-kalau jantungku benar-benar lepas.

Tak apa jawaban yang bisa kuberikan padanya. Karena sebenarnya aku tak mengerti cara menguraikannya. Yang pasti, dia sangat berbeda dari yang kulihat di foto itu. Matanya lebih hidup di foto itu.

I Love You, Om Pacar! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang