Aku sedang berbaring di kamar, saarMas Daru menelepon. Aku langsung menjawabnya.
"Udah makan, Shan?"
"Belum. Nanti. Mas Daru, mau titip. Nanti pulang mau antar aku ke dokter, 'kan? Bawa donat, klepon, sama serabi, ya?"
Demi mempercepat pemulihan kaki, aku sudah jarang keluar kamar. Susah kalau harus naik turun tangga, terlebih kalau Mas Daru pergi bekerja.
Hari ini ada jadwal periksa. Katanya dokter ingin memeriksa perkembangan kakiku. Syukur-syukur hari ini gipsnya bisa dibuka.
"Oke. Tapi, makan dulu. Jangan lupa buahnya." Dia berpesan.
"Iya."
Mas Daru mengakhiri panggilan telepon. Aku bangkit dari kasur. Pergi ke kamar mandi, cuci muka dan sisiran sedikit, kemudian turun. Tidak perlu dandan, kan hanya ke rumah sakit nanti.
Pergelangan kakiku sudah membaik. Tidak terlalu sakit lagi. Susahnya memang karena kamarku di lantai dua dan harus lewat tangga kalau ingin turun.
Tidak pakai kruk, aku menapaki anak tangga dengan satu kaki. Berjingkat-jingkat, mumpung tidak dilihat yang lain. Biasanya, mereka akan marah kalau aku melakukan ini.
Ada Varo dan pengasuhnya di ruang santai. Aku ke sana, berniat menyapa si keponakan sejenak.
"Varo! Sini, gendong mau?"
Bocah itu menggeleng dan menatapku heran. Anak ini memang selalu begitu. Seolah dia tak suka padaku. Kadang, aku merasa tatapan itu bukan heran, tetapi malas.
"Varo enggak sayang Aunti? Iyah?"
Dia kembali sibuk dengan mainannya, aku diabaikan. Dasar bocah! Dia tahu tidak kalau aku ini sayang padanya? Kenapa sampai umur segini, dia masih menolak aku gendong? Apa karena aku senang menyita waktu ayahnya, ya? Dia secara alami menganggapku musuh begitu?
Nanti kalau sudah diajak mengobrol, akan kutanya dia.
"Shan, makan siangnya Mbak bawa ke sini?" Mbak Gita datang dan bertanya.
Aku menggeleng. "Nanti aku ambil. Belum lapar. Makasih banyak."
Mbak Gita kembali ke dapur, Mbak Asri datang. Namun, tidak sendiri. Ada seorang pria mengikutinya di belakang.
"Ada Mas Elard, Shan," terangnya.
Meski bingung kenapa pria itu datang lagi. Namun, aku tetap menyambutnya. Dia ini memang tipe yang tak mau mendiamkan orang berlama-lama sepertinya. Ini kedua kalinya dia datang duluan, padahal sebelumnya kami habis bertengkar atau berdebat.
Kebingunganku atas kedatangannya hari ini akhirnya terurai ketika Elard membuka kantung belanjaan yang tadi dia bawa. Isinya donat, klepon dan serabi. Aku langsung tahu ini ulah siapa. Apa cubitanku pada Mas Daru kemarin kurang sakit, ya?
"Mas Daru titip pesan. Harus makan siang dulu, baru boleh cicip ini."
Baik. Berdebat dan menolak hanya akan memperpanjang masalah. Jadi, aku menurut saja.
Makan siangku habis dalam waktu singkat. Setelahnya, aku menyantap serabi. Perut kenyang, aku menunggu Elard pamit pulang. Namun, bukan itu yang dia lakukan.
"Kamu perlu siap-siap atau mau pakai ini saja ke rumah sakit?"
"Ngapain ke rumah sakit?" tanyaku pura-pura tak tahu.
"Lupa kalau hari ini harus kontrol?"
Aku dijebak. Oke. Sepertinya tak ada celah untuk mengelak, sebab Mas Daru sudah merancang semua dengan sempurna. Biar cepat selesai, mari ikuti arus saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...