Bab 2 - Inspirasi

932 68 1
                                    

Aku melempar ponsel yang sejak tadi berdering ke atas kasur. Duduk di atas karpet, kuraup wajah dalam telapak tangan.

Suntuk sekali.

Hari ini, aku ada janji bertemu dengan Tante Andini, ibunya Elard. Ada yang ingin aku bicarakan. Namun, si menyebalkan Lukas malah terus berusaha menghubungi.

Aku tahu, hari ini jadwal bertemu Lukas. Namun, bisakah menunggu sampai aku memberi kabar duluan?

Heboh sekali memang lelaki satu itu!

Pintu kamar yang diketuk membuatku bangkit. Memasukkkan ponsel ke tote bag, kemudian menenteng sepatu. Saatnya berangkat.

Pak Joni yang mengetuk pintu melempar senyum padaku.

"Cantik sekali," pujinya dengan suara khas bapak-bapak.

Aku tak bisa menahan diri. Beruntung sekali punya Pak Joni. Pujiannya selalu bisa membuat suasana hati jadi super baik.

"Ayah belum pulang?" tanyaku memulai percakapan. Kami mulai menuruni tangga.

"Belum. Mas Daru juga belum."

"Mbak Arini?"

"Pergi belanja."

Kepalaku manggut-manggut saja. Kebiasan bertanya soal orang rumah begini memang lumrah bagiku. Pasalnya, saat mereka-mereka itu bangun dan mulai beraktivitas, aku masih tidur.

Maklum, di rumah ini cuma aku yang pengangguran. Ayah masih sesekali pergi mengajar ke kampus. Mas Daru jelas sibuk mengurusi perusahaan. Dan Mbak Arini, pasti repot mengurusi rumah, orang-orang di dalamnya dan juga kontrol beberapa toko laundrinya.

"Aku turunin kaca mobilnya, ya?" Aku minta izin pada Pak Joni.

Beliau mengangguk, kemudian seperti biasa. Fokus mengemudi. Dia ini sudah hafal dengan sifatku, jadi tak akan mau memulai obrolan duluan.

Menatapi jalanan yang mobil kami lalui, aku merasa berdebar. Apa nanti Tante Andini akan bisa menerima dengan apa yang kusampaikan?

Mengingat, ayah saja cukup sulit untuk diyakinkan.

"Mau menunggu apa lagi memangnya? Ayah kenal keluarganya Elard. Pun Elardnya sendiri. Kamu kalau ndak mau, ya, sudah bilang."

Mana mungkin aku mengaku memang tak mau. Aku dengar dengan telinga sendiri, kalau ayah mengaku pusing atas pilihanku yang masih ingin melajang.

"Ayah itu rasanya ndak nyenyak tidur, Ru. Itu adikmu ada apa sebenarnya? Pusing ayah."

Aku dengar keluhan ayah itu tak sengaja. Karenanya, jadi merasa terbebani. Itulah mengapa perjodohan ini aku terima bulat-bulat.

Kukira masalah akan segera selesai dengan persetujuanku. Ternyata, tidak. Elard malah menolak mentah-mentah.

Untung saja, otakku ini masih bisa digunakan sedikit. Jadi, aku mendapat ide. Semoga ide ini ide yang bagus.

"Sudah sampai, Nak."

Suara Pak Joni membuatku menoleh pada pria itu. Tersenyum dan mengucap terima kasih, aku memintanya pulang duluan.

"Gampang, aku bisa naik taksi."

Pak Joni menunjukkan raut wajah susah. Seolah tak rela. "Terus saya harus apa di rumah?"

"Istirahat?" kataku dengan senyum lebar. "Kemarin kan baru masuk angin. Aku pamit, ya." Kakiku turun dari mobil. 

Berbalik dan berjalan menuju pintu rumah orangtua Elard, tiba-tiba saja ludahku rasanya pahit. Bagaimana kalau nanti Tante Andini benar-benar menolak muslihatku ini?

I Love You, Om Pacar! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang