"Shana? Shana?"
Tak perlu repot-repot buka mata. Aku tahu suara siapa yang memanggilku tadi. Mbak Arini tersayang.
Tak lama, pintu kamar yang kukunci dari dalam terbuka. Ibunya Varo itu memang punya kunci cadangan. Katanya, akan berguna di keadaan-keadaan begini.
"Shana, bangun. Sarapan dulu. Kamu kemarin nggak makan malam."
Masih ingin terus bergelung di bawah selimut, tapi aku tak tega. Sementara Mbak Arini berusaha membangunkanku, dari luar terdengar suara Varo yang menangis.
Anak itu pasti sedang protes. Saat harusnya ibunya mengurus dia, Mbak Arini masih harus sibuk mengaturku.
Terpaksa, aku bangkit dari kasur. "Iya, iya. Aku bangun. Mau cuci muka dulu, habis itu sarapan."
Wanita itu tersenyum. Tak lupa memberi ciuman selamat pagi di pipi.
"Geli, Mbak. Apa, sih, cium-cium? Memang aku Varo? Mas Daru sana cium!"
Bukannya menyesal, kakak iparku itu malah terbahak. "Mandi sana," katanya seraya menepuk bokongku.
Turun ke meja makan, ayah ternyata sudah di sana. Aku menagih peluk, kemudian duduk di samping beliau.
Sarapan kali ini ada dua pilihan. Nasi goreng dan bubur ayam. Aku pilih yang kedua. Plus dua buah perkedel dan tiga bakwan.
"Enak, Mbak," kataku berterima kasih.
Sejak menikah dengan Mas Daru, Mbak Arini ini langsung mengambil alih tanggungjawab mengurus rumah dan orang di dalamnya. Dia mengatur semua hal.
Soal keuangan rumah, soal makanan, bahkan soal pakaian kotor kami. Singkatnya, dia menjadi pengganti ibuku.
Sudah melakukan itu sejak tiga tahun lalu, sekali pun aku tak pernah mendengar dia mengeluh lelah. Paling, kalau sedang bosan, wanita itu akan melampiaskannya pada kakakku. Aku tentu tak keberatan. Biarkan saja Mas Daru menerima semua itu.
Kalau pada Mas Daru aku bisa memaksakan kehendak, lain jika sudah berhadapan dengan Mbak Arini ini. Dia baik sekali. Aku segan membuatnya sedih atau marah.
"Hapemu kenapa, Shan?" Mas Daru bertanya sembari menyuapi Varo.
Aku mengernyit, tak paham.
"Lukas telepon Mas. Katanya hapemu nggak aktif."
Oh, itu. Aku memang sengaja mematikan ponsel tadi subuh. Kan kemarin habis mengirim revisian naskah pada Lukas. Jadi, saatnya menghilang dulu. Aku malas mengurusi itu sekarang.
"Sengaja, Mas. Malas. Dia pasti mau minta revisi lagi. Kepalaku sakit," jelasku pada mas Daru.
Mas Daru mengangguk saja. Kakakku itu tersenyum lebar pada anaknya yang sudah memainkan bubur.
"Jangan lupa bilang makasih ke Elard, Shan."
Kepalaku menengok pada ayah. Kenapa tiba-tiba menyebut Elard? Belum sempat tanya itu kusuarakan, ingatan soal kejadian kemarin langsung menjawabnya.
"Aku diantar Elard kemarin, Mas?" tanyaku pada ayahnya Varo.
Kakakku itu mengangguk.
"Dia canggung banget, Shan. Pas nyamperin Mas-mu dan kasih tahu kalau kamu nggak bisa dibangunkan." Mbak Arini melempar senyum mengejek.
"Jadi?" Aku ketar-ketir menunggu penjalasan lebih jauh.
Aku ini memang paling susah dibangunkan jika sudah tidur. Hanya Mbak Arini yang mampu. Lalu, bagaimana bisa pagi ini aku ada di kasur?
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...