Bab 2. Sebenarnya Siapa Dia?

211 160 128
                                    

Pada hari pertama di sekolah barunya, Lily merasa segalanya berjalan lancar. Tak ada kejadian yang mengganggu, dan ia dapat menyesuaikan diri dengan baik. Namun, ada satu hal yang menarik perhatiannya, seorang siswa laki-laki yang ia temui pada hari pertama telah meninggalkan kesan yang mendalam.

Meskipun ia mencoba mencari sosok misterius itu di koridor sekolah dan di kantin selama seminggu, Lily tidak pernah lagi melihatnya. Ini menambahkan lapisan misteri yang membuat Lily semakin penasaran.

Setiap hari, ia berharap akan bertemu dengannya, bertanya-tanya apakah dia hanya bayangan dari masa lalu atau mungkin seorang pelindung tak terlihat. Rasa ingin tahu itu terus menggelayuti pikiran Lily, seolah-olah ia sedang mencari potongan memori yang hilang, yang mungkin bisa dijawab oleh siswa laki-laki itu.

.
.
.
.

Di bawah pohon rindang, Lily menemukan tempat perlindungan yang sempurna dari terik matahari. Setelah berolahraga di lapangan sekolah, ia merasa tubuhnya membutuhkan istirahat.

Ia merebahkan diri di rerumputan yang lembut, menatap langit biru yang begitu cerah, seakan-akan tidak ada awan yang berani menghalangi sinarnya. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa kesegaran yang menenangkan pikirannya.

Lily merenung, membiarkan pikiran-pikirannya mengalir bebas. Ia memikirkan tentang siswa laki-laki misterius itu, yang entah mengapa selalu berhasil menghindar dari pandangannya. Namun, saat ini, ia memutuskan untuk melepaskan semua rasa penasaran itu dan hanya memilih untuk menikmati momen kedamaian ini.

Dengan setiap tarikan napas, Lily merasa lebih rileks. Ia menutup matanya, mendengarkan suara alam di sekitarnya, dan untuk sesaat, semua kekhawatiran dan ketakutan yang biasanya menghantui hari-harinya lenyap, digantikan oleh ketenangan yang mendalam.

Ketenangan yang sempurna terpecah oleh sensasi dingin yang menjalar di pipi kanan Lily. Dengan refleks, matanya terbuka lebar, dan ia menoleh, hanya untuk menemukan Nisha yang berdiri di sampingnya, sambil tertawa ringan. Nisha, dengan tingkah usilnya, telah berhasil menjahili Lily dengan cara yang tak terduga, menaruh minuman dingin di pipi kanan Lily yang sedang terlelap.

Di tengah tawa dan kejutan, sebuah ikatan persahabatan semakin erat terjalin. Lily, meskipun terkejut, tidak bisa menahan senyumnya. "Astaga Nisha... Dingin tahu," keluh Lily sambil tertawa.

"Hehehe... nih minuman buat lo," kata Nisha sambil menyerahkan satu botol jus kepada Lily.

"Eh? Makasih banyak loh, padahal kalau gua gak dibeliin juga gak apa-apa."

"Udah terima aja sih, gak usah bawel. Lagian juga yak, emang lu gak capek apa abis lari muterin lapangan tiga kali?"

"Capek lah Nisha, lu bayangin aja lapangan segede ini dan seluas ini kita harus muter tiga kali," jawab Lily dengan tangannya terangkat ke atas untuk menunjukkan seberapa besar lapangan itu.

Nisha tertawa saat Lily menunjukan sebesar lapangan yang ada di sekolahnya dengan cara yang lucu seperti itu, "Hahaha...okey-okey."

Mereka berdua duduk di bawah pohon rindang, menikmati kesegaran minuman yang mereka bawa. Angin sepoi-sepoi yang berhembus menambah kenyamanan saat mereka beristirahat.

"Ngomong-ngomong, Nish. Lu-" kata Lily, namun belum sempat melanjutkan, suara seorang guru memanggilnya dari lapangan."Lily! Tolong kesini sebentar ya" ucap pak Zayn yang kebetulan guru olahraga

Vignet : Kilas Waktu dalam Kata-kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang