Bab 11. Presentasi

143 99 219
                                    

✎ᝰ.

Pagi itu, langit masih berwarna abu-abu ketika Lily terbangun dari tidurnya. Matanya masih setengah terpejam saat melihat jam weker di samping tempat tidurnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih dua puluh menit. "Oh tidak, gua terlambat!" teriaknya dalam hati. Tanpa membuang waktu, Lily melompat dari tempat tidur, mengenakan seragam sekolahnya dengan cepat, dan menyambar tasnya yang tergeletak di lantai.

Koridor sekolah yang biasanya ramai kini terasa sunyi, seolah menggambarkan betapa terlambatnya Lily. Langkah kakinya bergema di antara dinding yang dipenuhi poster-poster kegiatan sekolah. Lily berlari secepat mungkin, napasnya terengah-engah dan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu betul bahwa jam pertama adalah pelajaran fisika, dan guru fisika, Pak Harun, terkenal dengan disiplin dan ketegasannya.

Saat tiba di depan pintu kelas, Lily berhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Namun, tiba-tiba ia teringat sebuah video yang ditontonnya di Instakilo semalam-video tentang cara menyelinap masuk kelas tanpa ketahuan guru. Dengan rencana licik di kepalanya, Lily memutuskan untuk mencobanya.

Dia membuka pintu kelas dengan perlahan, hanya sedikit, cukup untuk mengintip ke dalam. Pak Harun sedang fokus menulis di papan tulis, punggungnya menghadap ke arah kelas. Melihat kesempatan ini, Lily membalikkan badan dan berjalan mundur perlahan menuju mejanya, matanya terus mengawasi Pak Harun. Baru saja dia mencapai meja kedua dari barisan depan, tiba-tiba suara Pak Harun memecah kesunyian kelas.

"Lily, kamu mau ke mana?" Suara tegas Pak Harun menghentikan langkahnya.

Lily tersentak, berdiri kaku di tempatnya. Ruang kelas yang tadinya tenang seketika menjadi tegang, semua mata tertuju padanya. Teman-teman sekelasnya menahan napas, tak ada yang berani bersuara. Nisha, yang duduk di dekat Lily, hanya bisa menepuk jidatnya dan menggelengkan kepala, merasa heran dengan tindakan sahabatnya itu.

"Anu..." Lily mencoba mencari alasan, tapi otaknya seakan berhenti berpikir.

"Kembali ke tempatmu sekarang juga," perintah Pak Harun dengan nada tegas, tatapannya tajam menusuk ke arah Lily. "Jangan sampai Bapak harus menulis nama kamu di jurnal kelas."

"Baik, Pak. Maaf..." Lily buru-buru berbalik dan berlari kecil ke mejanya, merasa sedikit malu tapi lega karena rencananya yang hampir gagal tidak berakhir lebih buruk.

Pak Harun kembali melanjutkan pelajarannya, sementara teman-teman sekelas Lily menghela napas lega, bersyukur tidak ada ceramah panjang dari guru mereka. Lily duduk di tempatnya dengan seringai kecil, merasa sedikit bangga bahwa meski ketahuan, dia masih berhasil menghindari hukuman yang lebih berat.

"Tepuk tangan dulu dong, gua berhasil melewati omelan Pak Harun," bisik Lily sambil memamerkan senyum puasnya.

"Hilih, gitu doang bangga. Lagian gua juga nggak paham konsep yang lu pake tadi," sahut Nisha dengan nada geli.

"Ah, nggak asyik lu, Nish," balas Lily, memasang wajah pura-pura kecewa saat menggantungkan tasnya di sisi mejanya.

"Serius, gua nggak paham," lanjut Nisha dengan polos.

Sebelum Lily sempat menjawab, Pak Harun berdehem keras, memaksa keduanya untuk kembali fokus pada pelajaran. Lily dan Nisha menunduk, berusaha menahan tawa, dan kembali membuka buku mereka, mencoba menghindari tatapan tajam Pak Harun.

Ketika bel istirahat akhirnya berbunyi, riuh rendah suara sorak murid-murid memenuhi ruangan kelas. Mereka bersuka cita, lega karena sesi belajar intens dari Pak Harun telah usai, dan kini saatnya untuk istirahat. Semua bergegas keluar dari kelas, berlomba-lomba menuju kantin untuk mengisi perut yang sudah keroncongan.

Vignet : Kilas Waktu dalam Kata-kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang