Bab 19. Cahaya Di Tengah Kekacauan

18 18 1
                                    

"Ini peringatan terakhir gue." Chris menyempurnakan kalimatnya dengan tatapan tajam. "Jangan pernah main-main lagi sama hidup orang lain, atau kalian bakal berurusan langsung sama gue."

Tanpa menunggu jawaban, Chris berbalik dan pergi, meninggalkan Laura dan kelompoknya dalam keheningan. Laura menatap punggung Chris yang menjauh dengan campuran kekecewaan dan kemarahan, ia juga mulai merasakan kekalahan. Dia sadar bahwa meskipun dia mencoba berbagai cara untuk menjatuhkan Lily, semuanya hanya membuat dirinya semakin terlihat buruk di mata orang lain, terutama di mata Chris.

Namun, meskipun demikian, Laura belum sepenuhnya menyerah. Dia masih menyimpan rasa benci dan cemburu yang mendalam terhadap Lily. Sementara Visha, Liam, dan Kian saling bertukar pandang, bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

✎ᝰ.

Rumor itu mulai mereda seiring dengan bantahan yang dilakukan Chris. Dengan tegas, dia memastikan kepada siapa pun yang bertanya bahwa Lily bukanlah orang seperti yang digambarkan dalam gosip kejam itu. Dukungan Chris, Ardian, dan Ravindra semakin memperkuat keyakinan banyak siswa bahwa semua tuduhan terhadap Lily tidak lebih dari sekadar kebohongan yang disebarkan oleh pihak-pihak yang iri. Lambat laun, gosip itu pun kehilangan daya tariknya.

Beberapa minggu kemudian, sekolah mengumumkan akan mengadakan acara amal tahunan. Acara ini adalah salah satu kegiatan terbesar di sekolah, di mana para siswa terlibat aktif dalam mengumpulkan dana untuk berbagai tujuan sosial. Pihak sekolah memutuskan untuk menunjuk Lily sebagai ketua panitia acara tersebut. Keputusan itu tentu mengejutkan banyak pihak, terutama Laura dan kelompoknya.

Lily menatap layar ponselnya dengan ragu. Pengumuman resmi dari sekolah tentang penunjukannya sebagai ketua panitia acara amal tahunan membuat pikirannya campur aduk. Di satu sisi, dia merasa tersanjung mendapat kepercayaan sebesar itu. Namun di sisi lain, ketakutan tentang rencana jahat Laura terus menghantui pikirannya. Dia tahu, berada di posisi ini akan membuatnya jadi sasaran yang lebih empuk.

Nisha yang duduk di sebelahnya langsung menyadari perubahan di wajah sahabatnya. "Lo masih ragu soal posisi ketua panitia itu?" Nisha bertanya, suaranya tenang namun penuh perhatian.

Lily mengangguk, meletakkan ponselnya di meja. "Gue nggak tahu, Nisha. Gue ngerasa kalau gue terima posisi ini, itu cuma bakal bikin Laura dan gengnya punya lebih banyak alasan buat ngejatuhin gue. Mereka nggak akan berhenti begitu aja."

Nisha menghela napas dan menatap Lily dengan serius. "Denger, Lil. Mereka mungkin nyoba ngejatuhin lo, tapi lo nggak harus takut sama mereka. Ini kesempatan lo buat nunjukin ke semua orang siapa lo sebenarnya. Mereka cuma bisa ngehancurin lo kalau lo kasih mereka kesempatan."

"Lo nggak ngerti, Nish..." Lily menunduk, bermain-main dengan ujung bajunya. "Setiap kali gue coba berdiri lagi, mereka selalu nemu cara buat ngejatuhin gue lebih jauh. Gue capek."

Nisha menggenggam tangan Lily, memaksa sahabatnya menatapnya. "Gue ngerti lo capek. Tapi lo nggak sendirian. Lo punya gue, Chris, Ardian, Ravindra-kita semua bakal bantu lo. Kita nggak bakal biarin lo jalan sendirian."

Chris yang baru saja masuk ke kelas, langsung menghampiri mereka begitu mendengar Nisha menyebut namanya. "Nisha benar, Lil," ucapnya, sambil mengambil tempat di depan meja mereka. "Gue tahu ini nggak mudah buat lo, tapi lo nggak bisa terus-terusan lari dari mereka. Mereka bakal terus ngehantui lo kalau lo nggak berdiri dan hadapin mereka."

Lily mendesah, menatap Chris dengan pandangan lelah. "Gue nggak lari, Chris. Gue cuma... gue nggak yakin. Setiap langkah yang gue ambil, rasanya mereka selalu ada di belakang gue, siap buat jatuhin gue lagi."

Vignet : Kilas Waktu dalam Kata-kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang