Bab 13. Jerat Kegelapan

109 87 148
                                    

Setelah itu, Ardian sempat mengusulkan untuk melakukan kegiatan lain, tetapi mereka semua tampak puas hanya duduk bersama dan menikmati kebersamaan mereka. Malam itu menjadi salah satu momen yang akan mereka kenang, sebagai waktu di mana persahabatan mereka semakin erat dan kuat.

.
.
.
.

✎ᝰ.

Waktu berlalu dengan cepat. Malam semakin larut, dan kelelahan mulai terasa oleh mereka semua, meskipun semangat kebersamaan masih tetap kuat. Namun, Nisha melirik jam di dinding dan sadar bahwa malam itu harus segera diakhiri.

“Gimana kalau kita lanjutin besok aja?” usul Nisha dengan lembut, suaranya terdengar sedikit serak. “Kayaknya kita udah cukup banyak ngobrol dan bersenang-senang malam ini.”

Ardian mengangguk setuju. “Boleh, besok kita bisa kumpul lagi kalau kalian mau,” katanya sambil tersenyum kepada teman-temannya.

“Setuju, kita bisa bikin rencana buat weekend ini,” tambah Ravindra, yang langsung dibalas anggukan oleh yang lain.

Mereka semua akhirnya sepakat untuk mengakhiri malam itu. Dengan penuh kehangatan dan canda tawa, mereka mulai berkemas. Rumah Ardian yang tadinya ramai, perlahan kembali sunyi saat satu per satu dari mereka meninggalkan tempat itu. Meski malam sudah larut, kehangatan persahabatan mereka tetap terasa, membawa mereka pulang dengan perasaan puas dan bahagia.

Setelah semuanya bersiap, Chris mengantar Lily pulang dengan motornya. Dalam perjalanan, suasana di antara mereka terasa lebih intim daripada sebelumnya. Lily yang masih mengenakan jaket Chris merasa nyaman dan terlindungi dalam keheningan malam. Sepanjang jalan, mereka tidak banyak berbicara, tetapi keheningan itu tidak canggung—justru penuh dengan kehangatan yang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata.

Setibanya di depan rumah Lily, Chris menghentikan motornya dengan lembut. Dia berbalik dan tersenyum ke arah Lily, matanya penuh dengan ketulusan. “Sampai sini aja, ya. Jaketnya ambil besok aja.”

Lily tersenyum manis, sedikit tersipu. “Makasih banyak, Chris. Sampai besok, ya,” jawabnya dengan nada lembut.

Setelah berpamitan, Lily berjalan masuk ke rumahnya dengan hati yang berdebar, merasakan ada sesuatu yang istimewa yang mulai tumbuh antara dirinya dan Chris. Sementara itu, Chris mengendarai motornya pulang dengan senyum yang tak bisa hilang dari wajahnya, merasa bahwa malam itu adalah awal dari sesuatu yang lebih baik dan lebih dalam di antara mereka.

Setelah hari yang panjang dan menyenangkan bersama teman-temannya, Lily akhirnya menemukan dirinya dalam keheningan kamar yang remang, hanya diterangi oleh cahaya lembut dari lampu meja. Suara notifikasi dari ponselnya memecah keheningan itu, menandakan pesan baru dari Nisha. Lily membuka pesan itu, dan melihat foto-foto yang dikirimkan Nisha—momen-momen kebersamaan mereka di rumah Ardian kini terpampang di layar ponselnya, membawa kembali senyum dan kenangan hangat dari malam yang baru saja mereka lalui.

Dengan mata yang masih berkilauan dari sisa-sisa tawa dan ketegangan film horor, Lily memperhatikan setiap foto dengan seksama. Namun, tanpa disadari, jari-jarinya bergerak men-zoom sebuah foto di mana Chris terlihat gagah dalam cahaya redup rumah Ardian. Saat menyadari apa yang ia lakukan, pipinya merona merah, sebuah pengakuan tak terucap dari hatinya yang mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.

“Apa yang kamu pikirkan, Lily…” gumamnya pada diri sendiri, suaranya nyaris tak terdengar, seolah berbicara pada bayang-bayang di dinding kamarnya.

Vignet : Kilas Waktu dalam Kata-kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang