Bab 22. Titik Balik Persahabatan

7 9 1
                                    

Nisha tidak bergeming. Meskipun dia tahu dia sendirian dan terpojok, dia tidak akan menunjukkan kelemahan. "Lo boleh ancam gue, Laura, tapi gue nggak takut. Kalau lo nyakitin temen-temen gue, gue yang bakal maju duluan buat ngelawan lo."

Setelah Nisha melangkah pergi dengan tegas, Laura berdiri diam, matanya menatap punggung Nisha dengan tajam. Di dalam hatinya, Laura tahu dia harus bertindak cepat sebelum Nisha mulai membuka mulut.

✎ᝰ.


Keesokan harinya, suasana sekolah terasa lebih berat bagi Nisha. Dia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang telah didengarnya kemarin—rencana jahat Laura dan gengnya untuk memecah belah Chris dan Ravindra. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang malam. Setiap kali dia mencoba tidur, bayangan wajah Laura dan ejekan penuh kemenangan mereka selalu muncul dalam benaknya.

Di sisi lain, Ravindra masih merasa canggung setelah percakapannya dengan Laura di taman kemarin. Dia berjalan menyusuri koridor dengan hati-hati, tidak tahu harus bagaimana menghadapi pertemanannya dengan Chris. Ada terlalu banyak yang berkecamuk di dalam dirinya—keraguan, kekecewaan, dan rasa takut kehilangan sahabat yang sudah lama dia percayai.

Nisha telah memutuskan untuk berbicara dengan Ravindra dan Chris hari ini. Jika mereka tahu tentang rencana Laura, mereka mungkin bisa lebih waspada, dan persahabatan mereka bisa terselamatkan. Dia menunggu di depan loker Chris, berharap bisa bicara dengan mereka sebelum kelas dimulai.

Namun, sebelum dia bisa bertemu mereka, Laura dan Visha muncul dari sudut koridor. Mereka tertawa pelan sambil berjalan mendekat, tampak tidak menyadari keberadaan Nisha. Ketika jarak mereka semakin dekat, Laura tiba-tiba menoleh dan menyadari Nisha berdiri di sana. Tawa Laura seketika memudar, dan matanya menyipit dengan curiga.

"Eh, Nisha?" sapa Laura dengan nada yang terdengar terlalu manis. "Ngapain lo di sini? Lagi nungguin siapa, nih?"

Visha menyeringai dari belakang Laura, ikut menambahkan, "Iya, lagi stalking siapa, Nisha?"

Nisha menahan napas, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar-debar. Ini jelas bukan waktu yang tepat untuk menimbulkan keributan. Dia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Oh, nggak, gue cuma lagi nunggu temen-temen aja," jawabnya dengan nada acuh tak acuh.

Laura menatapnya dengan tajam, kecurigaan terpancar jelas di matanya. "Jangan-jangan lo lagi mau ngomongin sesuatu tentang gue, ya?"

Deg. Jantung Nisha berdegup kencang. Bagaimana bisa Laura begitu cepat menebak? Dia segera menggeleng, berusaha keras untuk tidak menunjukkan kepanikan. "Ngomongin lo? Nggak kok. Ngapain gue ngomongin lo?"

Namun, Laura tampaknya tidak percaya begitu saja. Senyum dingin tersungging di wajahnya. "Bagus, kalau gitu. Karena kalau lo berani ngomongin gue di belakang, lo nggak bakal tahu apa yang bakal terjadi."

Visha tertawa kecil, memberikan tatapan mengejek pada Nisha sebelum mereka berdua berlalu. Nisha merasa dadanya sesak. Dia harus lebih berhati-hati—Laura tampaknya mulai curiga.

Beberapa jam kemudian, saat waktu istirahat tiba, Nisha mencoba lagi untuk memperingatkan Chris dan Ravindra. Kali ini, dia menemukan mereka sedang duduk di taman belakang bersama Lily dan Ardian. Mereka terlihat lebih santai daripada kemarin, dan Nisha merasa ini adalah kesempatan terbaiknya.

Dia berjalan cepat mendekati mereka, namun sebelum dia bisa mengucapkan sepatah kata pun, suara tawa keras terdengar dari belakangnya. Dia menoleh dan melihat Liam serta Kian mendekat dengan senyum licik di wajah mereka.

Vignet : Kilas Waktu dalam Kata-kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang