Bab 16. Di Balik Perlindungan

33 29 7
                                    

Lily tersenyum lemah, merasa bersyukur memiliki teman seperti Nisha. "Makasih, Nish. Gua gak tau deh apa yang bakal gua lakuin tanpa lu disini."

Nisha menepuk bahu Lily dengan lembut. "Kita bakal hadapin ini bareng-bareng, oke? Jangan pikirin sih terong sialan itu lagi. Yang penting sekarang kamu fokus buat sembuh."

Lily mengangguk. Meskipun hari ini penuh dengan tantangan, dia tahu bahwa dengan dukungan Nisha dan kehadiran Pak Zayn, dia tidak sendiri. Apa pun yang terjadi selanjutnya, dia siap untuk menghadapinya dengan kepala tegak.

✎ᝰ.

Keesokan harinya, Lily datang ke sekolah dengan perasaan yang campur aduk. Meski insiden di lapangan voli kemarin masih terngiang di kepalanya, dia bertekad untuk tidak membiarkan hal itu merusak semangat belajarnya. Namun, begitu melangkah masuk ke koridor sekolah, Lily langsung merasakan tatapan sinis yang menusuk dari arah Laura dan Visha.

Bel berbunyi, menandakan awal pelajaran. Lily berjalan bersama Nisha menuju kelas, berusaha mengalihkan pikiran dengan membicarakan tugas yang harus dikumpulkan hari itu. Namun, mereka segera melihat bahwa Laura dan Visha sudah berdiri menunggu di luar kelas, dengan senyum licik di wajah mereka.

"Pagi, Lily! Gimana kabar lu sama pala lu? Masih sakit?" tanya Laura, suaranya terdengar manis, namun senyuman sinis di wajahnya menunjukkan niat yang sebenarnya.

Lily menatap Laura sejenak, mencoba menahan amarah yang mulai menggelegak di dadanya. "Gua baik-baik aja, makasih udah tanya walaupun gua harap gak di tanya sama lu," balasnya dengan nada datar, lalu mencoba melangkah melewati mereka untuk masuk ke kelas.

Tapi Visha bergerak cepat, berdiri tepat di depan Lily, menghalangi jalannya. "Kita belum selesai, sayang. Lu harus belajar buat lebih cepat tangkap bola, biar gak kena kepala lagi," ujarnya sambil terkekeh, diikuti tawa tajam Laura.

Nisha, yang berdiri di samping Lily, langsung maju ke depan, matanya menyala marah. "Lu berdua mau apa lagi, sih? Gak puas udah bikin kepala Lily benjol kemarin, hah!?" bentaknya, suaranya penuh dengan kemarahan yang ditekan.

Laura hanya mengangkat bahu, memperlihatkan sikap acuh tak acuh. "Santai aja, kita cuma bercanda kok. Gak usah baper," jawabnya dengan nada mengejek yang membuat darah Nisha semakin mendidih.

Lily menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh emosi di dalam dirinya. "Udah, Nish. Mending kita masuk ke kelas aja, gak ada guna juga ngomong sama mereka," katanya dengan suara tenang, meski di dalam hatinya, dia merasa terguncang.

Nisha menatap Lily dengan cemas, tapi akhirnya mengangguk setuju. Mereka pun berjalan melewati Laura dan Visha, yang masih tertawa kecil di belakang mereka. Setiap langkah yang mereka ambil terasa berat bagi Lily, seolah-olah tawa itu menjadi beban yang semakin menekan hatinya.

Di dalam kelas, saat bel berbunyi tanda pelajaran dimulai, suasana berangsur-angsur tenang. Semua siswa fokus pada materi yang diajarkan oleh Bu Dina, guru Matematika yang dikenal tegas namun sabar. Lily duduk di barisan tengah, mencoba sekuat tenaga untuk mengikuti penjelasan tentang persamaan kuadrat, meskipun pikirannya masih terpecah oleh insiden tadi pagi.

Tiba-tiba, sebuah kertas kecil meluncur di atas meja Lily. Kertas itu jatuh tepat di tengah buku catatannya. Lily terkejut, tapi berusaha mengabaikannya dan terus menulis. Namun, beberapa detik kemudian, kertas lain menyusul, mendarat di sebelah tangannya.

Vignet : Kilas Waktu dalam Kata-kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang