Bab 6. Karnaval Celestia

136 112 57
                                    

Keesokan harinya, hujan telah reda, meninggalkan jejak-jejaknya pada tanah yang basah. Tetesan-tetesan terakhir masih bertahan di daun-daun, berkilauan seperti mutiara di bawah sinar matahari pagi. Lily masih terlelap dalam tidurnya, napasnya teratur dan lembut. Di sisinya, boneka rubah yang sudah lusuh-saksi bisu atas malam-malam yang telah dilewati-tetap setia menemani.

Di luar jendela, dunia perlahan bangun. Suara burung berkicau menyambut hari baru, sementara aroma tanah basah terbawa angin, mengisi ruangan dengan kesegaran alam. Lily, masih dalam dekapan mimpi, tersenyum tipis.

Saat mentari semakin tinggi, sinarnya mulai menyelinap masuk, menerobos celah tirai dan menari di pipi Lily. Hangatnya mengusik tidur sang bocah yang ditemani oleh boneka kesayangan nya, yaitu rubah. Menggoda mata yang tertutup untuk membuka. Dengan gerakan malas, Lily mengusap matanya dan mengangkat tubuh kecilnya dari ranjang.

Dengan langkah yang masih mengantuk, Lily duduk di tepi kasur, mengumpulkan energi sebelum kakinya menyentuh lantai yang dingin. Dia mengambil waktu sejenak, menghirup udara pagi yang masih segar, sebelum akhirnya turun dari kasur dan melangkah keluar dari kamarnya. Langkah kaki kecilnya menuruni tangga dengan hati-hati, setiap anak tangga berdecit lembut menandai perjalanannya menuju kehangatan yang menanti di bawah.

Sesampainya di dapur, aroma masakan yang memenuhi ruangan langsung menyambutnya. Bau bumbu dan rempah-rempah yang meresap ke setiap sudut rumah itu mengingatkannya pada pelukan hangat ibunya. Dapur, yang biasanya sederhana dan fungsional, kini berubah menjadi sebuah surga kuliner, di mana setiap panci dan wajan menyimpan rahasia resep keluarga yang telah turun-temurun.

Ibunya, sang maestro di balik semua kreasi ini, berdiri dengan penuh kasih di depan kompor, mengaduk dan mencicipi, memastikan bahwa setiap hidangan memiliki rasa yang sempurna. Lily, masih dengan mata yang setengah terpejam, mendekati ibunya dan memeluknya dari belakang, mencari kehangatan dan kenyamanan dalam rutinitas pagi yang telah menjadi tradisi di rumah mereka.

"Selamat pagi, Ibu," ucap Lily dengan suara serak karena baru terbangun.

Ibunya menoleh dengan senyum lebar, "Selamat pagi, sayangku. Kamu sudah bangun. Bagaimana tidurmu semalam?" tanyanya sambil mengurangi api di bawah panci.

"Baik, Ibu," jawab Lily, sambil menguap kecil. "Apa yang Ibu masak? Wanginya enak sekali!"

Ibunya tertawa kecil, "Ini resep spesial untukmu, nasi goreng kesukaanmu dengan sedikit kejutan di dalamnya." Dia mengambil sepiring nasi goreng dan menaruhnya di meja makan. "Cepat duduk dan coba, aku yakin kamu akan suka."

Lily, dengan mata yang berbinar, hampir saja menyantap sepiring nasi goreng yang penuh warna di depannya. Namun, sebelum sendoknya menyentuh mulut, ibunya dengan lembut menegurnya, "Lily, sayang, cuci mukamu dulu ya sebelum makan."

Lily, yang sudah duduk manis di meja makan, menoleh dengan raut kecewa. "Tapi Ibu, aku udah lapar," keluhnya, sambil memandang piring sarapannya dengan sayu.

Ibunya tersenyum dan mengusap kepala Lily dengan kasih sayang. "Ibu tahu, tapi kamu harus selalu ingat untuk menjaga kebersihan. Cepat cuci muka, dan nasi goreng ini akan menjadi lebih nikmat setelah itu," ujar ibunya, menunjuk ke arah kamar mandi.

Dengan langkah gontai, Lily bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar mandi. Dia tahu ibunya benar; sebuah hari yang baik dimulai dengan kebersihan dan kedisiplinan. Setelah mencuci muka dan kembali ke dapur, aroma nasi goreng itu seolah menjadi dua kali lebih menggoda, dan Lily pun duduk kembali, kali ini dengan wajah yang segar dan siap menikmati sarapan yang telah dibuat dengan penuh cinta oleh ibunya.

Lily kembali ke kursinya, wajahnya berseri-seri setelah mencuci muka. "Selamat makan, Ibu," katanya dengan sopan, sebelum sendoknya menyentuh nasi goreng yang masih mengepul di piringnya. Ibunya membalas dengan senyum hangat, "Selamat makan, sayang. Semoga kamu suka dengan kejutan kecil yang aku tambahkan di dalamnya."

Vignet : Kilas Waktu dalam Kata-kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang