Bab 20. Perangkap Di Balik Ketulusan

20 18 0
                                    

Para tamu yang tadinya tampak cemas mulai bertepuk tangan, mendukung Lily. Nisha tersenyum bangga dari belakang, sementara Chris dan Ardian kembali ke tempat mereka, memberikan isyarat tenang ke arah Lily.

Laura mendesis kesal. "Sial! Rencana kita gagal lagi!"

Visha memutar matanya. "Yaudah, kita cari cara lain."

Namun, di tengah kebingungan itu, Lily mendapatkan sesuatu yang lebih penting—kepercayaan diri dan dukungan dari semua orang di sekelilingnya.

✎ᝰ.

Hari demi hari, Laura, Visha, Kian, dan Liam terus merencanakan skema untuk menjatuhkan Lily. Mereka tak kenal lelah mengawasi setiap langkahnya, berharap menemukan celah untuk mempermalukannya di depan semua orang. Namun, setiap kali mereka melancarkan rencana, teman-teman Lily—Nisha, Chris, Ardian, dan Ravindra—selalu sigap menggagalkan upaya mereka.

Laura mulai frustasi. "Kita nggak bisa terus-terusan kalah begini," geramnya pada suatu hari. "Harus ada cara lain."

Visha, yang duduk di sebelahnya, tampak lebih tenang. "Masalahnya bukan rencananya, tapi mereka yang selalu ada buat Lily. Kalo kita bisa bikin mereka goyah, Lily bakal sendirian."

Kian mengangguk setuju. "Kita harus buat mereka pecah dulu. Fokus ke kelompoknya, bukan ke Lily langsung."

Sementara itu, di sisi lain sekolah, kehangatan persahabatan di antara kelompok Lily mulai terasa renggang, terutama antara Chris dan Ravindra. Seiring berjalannya waktu, perbedaan pendapat mulai muncul di antara keduanya. Chris, yang selalu ingin bertindak cepat dan langsung, merasa Ravindra sering terlalu berhati-hati dan tidak mengambil tindakan tegas.

Pada suatu siang di kantin, ketegangan itu semakin terlihat ketika mereka tengah berbicara tentang rencana melawan Laura dan gengnya.

“Kita harus melaporkan mereka ke pihak sekolah,” kata Chris tegas. "Ini udah keterlaluan. Mereka nggak bisa terus-terusan main kotor kayak gini."

Ravindra, yang biasanya ikut mendukung setiap saran Chris, kali ini menggeleng pelan. "Tunggu dulu, Chris. Lapor ke sekolah sekarang malah bisa bikin kita terlihat seperti pengecut. Kita harus cari bukti lebih banyak dulu."

Chris mengerutkan kening, jelas tak setuju. "Bukti? Bukti apalagi yang kita butuhin? Laura udah ngerusak reputasi Lily berulang kali, kita nggak bisa diem aja."

Ravindra menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. "Gue ngerti, tapi kita nggak bisa gegabah. Kalo kita nggak punya cukup bukti, malah kita yang bakal kena masalah. Kita harus lebih strategis."

"Apa lo denger diri lo sendiri?" Chris mendengus. "Lo mau nunggu sampai kapan? Sampai mereka ngelakuin sesuatu yang lebih parah ke Lily? Gue nggak mau jadi orang yang cuma duduk diem dan nunggu."

Ardian, yang duduk di antara mereka, melirik keduanya dengan gelisah, merasakan ketegangan di udara. "Eh, bro, tenang dulu. Kita semua ada di sisi yang sama di sini."

Namun, baik Chris maupun Ravindra tak mendengarkannya. "Ini bukan soal menunggu atau nggak," jawab Ravindra dengan nada yang lebih tegas. "Ini soal melakukan hal yang benar dengan cara yang benar."

Chris berdiri dari kursinya, wajahnya dipenuhi frustrasi. "Lo nggak ngerti, Vin. Lo nggak ngerti tekanan yang dirasain Lily sekarang. Gue nggak bisa lagi nunggu dan liat dia disakiti."

Vignet : Kilas Waktu dalam Kata-kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang