Saat mereka menghilang dari pandangan, Laura menutup bukunya dengan suara yang lebih keras dari yang seharusnya. Dia berdiri, mengambil napas dalam-dalam, dan berusaha mengumpulkan keberaniannya. “Ini nggak bisa terus begini,” bisiknya pada diri sendiri, “Gua harus ngelakuin sesuatu, pokoknya tuh cewek harus pergi jauh-jauh dari Chris!”
Dengan tekad yang baru, Laura mulai merencanakan langkah selanjutnya, sebuah langkah yang mungkin akan mengubah dinamika persahabatan mereka selamanya.
.
.
.✎ᝰ.
Dengan semangat yang baru setelah bel berbunyi, para siswa bergegas memasuki kelas mereka masing-masing. Suasana kelas menjadi hidup dengan suara murid yang bersiap untuk pelajaran pertama hari itu. Lily, yang masih dibayangi oleh mimpi buruk yang terus mengulang, berusaha keras untuk fokus pada pelajaran yang akan dimulai.
Pak Zayn, guru olahraga yang dikenal dengan semangatnya yang membara, memasuki kelas dengan langkah penuh percaya diri. “Selamat pagi, anak-anak! Hari ini kita akan belajar tentang teknik dasar bola voli,” ucapnya dengan suara berwibawa. Kelas yang tadinya gaduh seketika menjadi hening; semua mata tertuju pada Pak Zayn.
Pak Zayn menjelaskan prinsip-prinsip dasar permainan bola voli, termasuk bagaimana melakukan servis yang baik, penerimaan bola, dan teknik smash. “Ingat, bola voli bukan hanya soal kekuatan, tapi juga strategi dan kerja sama tim,” tegas Pak Zayn, sambil menunjukkan beberapa gerakan. Setelah penjelasan singkat, dia memberi instruksi, “Baiklah, sekarang semua ganti baju dan kumpul di lapangan. Kita akan praktik langsung.”
Lily dan teman-temannya segera menuju ke ruang ganti. Meskipun pikirannya masih dipenuhi bayangan mimpi buruk, Lily tahu dia harus fokus pada pelajaran di depan mata. Dengan langkah yang sedikit berat, dia mengikuti arahan Pak Zayn, berharap bahwa aktivitas fisik dalam permainan bola voli dapat membantunya melupakan bayangan-bayangan yang mengganggu pikirannya.
Lily dan Nisha bergegas menuju ruang ganti untuk mengganti seragam mereka dengan pakaian olahraga. Di belakang mereka, Laura dan Visha berjalan dengan sikap menyebalkan, sengaja menabrakkan bahu mereka ke arah Lily sebelum berlalu tanpa sepatah kata pun.
Nisha, yang menyaksikan kejadian itu, merasa darahnya mendidih. “Hei, Laura! Visha! Minta maaf ke Lily sekarang juga!” serunya dengan suara lantang, namun seruannya tenggelam dalam keramaian koridor.
Laura dan Visha hanya melanjutkan langkah mereka, seolah-olah tidak mendengar seruan Nisha. Nisha, yang sudah siap mengejar mereka, dihentikan oleh Lily yang menarik lengan bajunya. “Lupakan saja, Nish. Gak usah dibesar-besarkan,” kata Lily dengan suara tenang namun tegas.
“Tapi mereka gak bisa gitu aja, Lil! Mereka harus minta maaf!” Nisha masih tidak bisa menahan emosinya.
Lily menghela napas panjang. “Kalau kita balas, kita gak beda sama mereka. Lagipula, kita punya hal yang lebih penting untuk dipikirkan sekarang, kan?”
Nisha menatap Lily, terkesima oleh kedewasaan temannya. “Oke, kamu benar. Ayo ganti baju dan fokus ke pelajaran olahraga,” ucapnya, akhirnya menyerah pada pendapat Lily.
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan ke ruang ganti, meninggalkan insiden itu di belakang. Di ruang ganti, mereka berganti pakaian dengan cepat, mempersiapkan diri untuk pelajaran olahraga yang akan menguji fisik dan mental mereka di lapangan.
Matahari pagi mulai meninggi, menyinari lapangan voli yang menjadi arena terbaru bagi siswa-siswa kelas Lily. Pak Zayn, dengan suara tegas dan penuh otoritas, memerintahkan semua murid untuk berbaris dengan rapi. “Ayo, cepat berbaris! Kita akan mulai pemanasan,” serunya, memastikan setiap murid siap untuk sesi olahraga yang akan menguras energi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vignet : Kilas Waktu dalam Kata-kata
Teen Fiction⚠️typo bertebaran, akan hilang nanti jika di revisi⚠️ Status :on going Sinopsis : Lily Allen Veronica kehilangan sebagian besar ingatannya setelah kecelakaan tragis saat berusia tujuh tahun. Peristiwa itu tidak hanya meninggalkan kekosongan dalam in...