✎ᝰ.
Lily terbangun dengan napas terengah-engah, jantungnya berdetak kencang seperti hendak meledak dari dalam dadanya. Bayangan-bayangan kegelapan dari mimpinya masih menghantui pikirannya, berputar-putar tanpa henti, meninggalkan jejak ketakutan yang sulit dihilangkan. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi buruk itu, namun rasa cemas dan ketakutan masih begitu nyata, seolah-olah kegelapan dari mimpinya masih mengintai di sudut-sudut kamarnya.
Ia merasa lega menemukan dirinya kembali di kamarnya sendiri. Suara detak jam yang pelan dan familiar terdengar, namun itu tidak cukup untuk menghilangkan perasaan gelisah yang terus mencengkram dirinya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 3 pagi-waktu yang terasa terlalu dini untuk mencari ketenangan.
Lily duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk dirinya sendiri dalam kegelapan yang kini terasa berbeda, lebih sunyi namun tetap mencekam. Pikirannya berputar, mengulang setiap detail dari mimpi tadi-kegelapan yang menakutkan, suara-suara yang menghantui, dan sosok anak laki-laki itu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, sesuatu yang lebih dari sekadar mimpi buruk biasa.
Perasaan aneh menyelimuti dirinya, campuran antara rasa takut dan rasa ingin tahu yang tidak bisa ia jelaskan. Ia merasa seolah-olah berada di ambang penemuan sesuatu yang penting, sesuatu yang selama ini ia cari tanpa ia sadari. Namun, jawaban itu masih tersembunyi di balik tirai ketakutan dan kebingungan yang belum sepenuhnya terangkat.
Tanpa disadari, tangannya meraba jaket yang ia kenakan semalam-jaket Chris. Sentuhan kain yang familiar itu membuat hatinya tiba-tiba berdetak lebih kencang, lebih cepat dari sebelumnya. Ada sesuatu yang menghubungkan semuanya-mimpi itu, perasaan gelisah yang tak kunjung hilang, dan Chris.
Lily menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, tetapi pikirannya terus berputar, mengulang satu pertanyaan: Apakah anak laki-laki itu benar-benar hanya bagian dari mimpinya? Ataukah ia mencoba memberitahunya sesuatu yang penting, sesuatu yang berkaitan dengan perasaannya sendiri, sesuatu yang selama ini ia abaikan?
Mungkin, hanya mungkin, mimpi itu adalah pesan yang tidak boleh ia abaikan. Dan dengan pemikiran itu, meski masih diliputi rasa takut dan kebingungan, Lily merasakan dorongan yang kuat untuk mencari jawaban-apapun itu.
Lily turun dari tempat tidur, langkahnya terasa berat dan tidak mantap. Rasa gelisah masih menghantui, membuat tubuhnya terasa lelah meskipun ia baru saja bangun. Kakinya melangkah otomatis menuju kamar mandi, seolah-olah nalurinya tahu bahwa ia butuh sesuatu untuk menenangkan diri.
Di dalam kamar mandi, Lily menyalakan lampu dan menatap bayangannya di cermin. Wajahnya terlihat pucat, matanya sayu, seolah-olah mimpi buruk itu telah menguras seluruh energi yang dimilikinya. Tapi di balik ketakutan yang masih membekas, ada juga kelelahan yang mendalam, sebuah kelelahan emosional yang udah nggak bisa gua abaikan lagi.
"Kenapa semua ini terjadi lagi? Gua pikir gua udah melewati fase ini..." pikirnya dengan getir, menatap dirinya sendiri seolah mencari jawaban di dalam matanya yang lelah. Tapi yang ia lihat cuma bayangan seorang cewek yang kelelahan, dihantui oleh sesuatu yang ia sendiri nggak sepenuhnya ngerti.
Setelah beberapa saat hanya berdiri di sana, membiarkan air dingin mengalir dari keran, Lily akhirnya meraih air itu dengan kedua tangannya dan mencipratkannya ke wajah. Sensasi dingin itu memberikan sedikit kelegaan, tapi nggak cukup buat ngusir kegelisahan yang terus berputar di pikiran ia. Dia menatap cermin sekali lagi, berusaha menemukan dirinya di balik bayangan yang tampak begitu asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vignet : Kilas Waktu dalam Kata-kata
Teen Fiction⚠️typo bertebaran, akan hilang nanti jika di revisi⚠️ Status :on going Sinopsis : Lily Allen Veronica kehilangan sebagian besar ingatannya setelah kecelakaan tragis saat berusia tujuh tahun. Peristiwa itu tidak hanya meninggalkan kekosongan dalam in...