Bab 1: three people?

558 49 41
                                    

"Aneth!"

Seorang gadis bernama Aneth itu lantas berbalik dan menatap sumber suara. Ia mengangkat satu alisnya saat melihat seorang gadis berambut pendek dengan almamater hitam datang ke arahnya.

"Jangan lari-lari, Kill. Why?" tanya Aneth saat Killa sudah berdiri di depannya.

"Tolong bantu gue sebar surat izin buat rapat hari ini," ucap Killa setelah mengatur napas.

Aneth mengernyit. "Rapat? Hari ini ada rapat?" tanyanya dengan kebingungan. Maklum, Aneth memang lumayan kudet.

Killa memutar matanya malas. "Lo nggak baca grup lagi, ya? Kali ini rapatnya dipimpin sama kepala sekolah." Killa membagikan beberapa kertas yang semula berada di tangannya ke tangan Aneth. "Apalagi rapat ini disarankan langsung sama Bapak Kepsek. Lo inget kan kalau ini H-3 acara festival band?" imbuhnya.

"Oh, oke-oke, paham. Ini dibagi ke empat kelas aja? Hari ini yang ikut rapat cuma 12 orang?" tanya Aneth saat baru menyadari nama-nama yang tercantum di surat izin hanya 12 orang, sedangkan seluruh anggota OSIS ada 30 orang.

Killa mengangguk. "Iya, ini yang milih juga Bapak. Gue juga nggak tahu sih apa tujuannya, tapi ya udah, ngikut aja. Mungkin ada beberapa informasi yang mau di-share."

Aneth mengangguk patuh, lalu mengacungkan jempolnya. "Oke, siap. Gue bagi dulu ya. Rapatnya jam 12 pas, istirahat kedua, 'kan?" tanyanya, yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Killa.

Tak lama setelah itu, mereka berjalan ke arah yang berlawanan. Aneth berjalan lurus dan melewati mading. Ia berhenti sejenak, menatap poster festival band yang diselenggarakan sekolahnya, SMA Garuda Merah.

Setelah itu, Aneth melanjutkan langkahnya ke kelas-kelas yang akan diberikan surat izin untuk tidak menghadiri pelajaran karena rapat OSIS.

---

Bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat kedua telah tiba. Semua murid berhamburan dengan berbagai tujuan, entah itu untuk makan atau menunaikan ibadah.

Aneth berjalan menuju ruang OSIS yang berada di lantai dua, lalu mengetuk pintunya. "Permisi?" ucapnya seraya mengintip ke dalam. Beruntungnya, Aneth bukanlah orang terakhir maupun orang pertama yang hadir. Sudah ada delapan orang di ruangan itu.

"Aneth!" sapa seorang gadis berkacamata. "Parah, lo datengnya lama banget. Gue kangen," ucap Anias seraya berjalan dan memeluk tubuh Aneth.

Aneth tertawa, membalas pelukan Anias. "Nggak usah alay lo," cibirnya sebelum melepaskan pelukan mereka dan berjalan ke arah kursi yang tersedia. Meja panjang di hadapannya sudah penuh dengan banyak sekali kertas-kertas yang harus mereka revisi.

Aneth mengangkat pandangannya yang semula sedikit menunduk, kini menatap seorang pria yang duduk tepat di depannya dan tengah bermain ponsel. "Bu Raya belum dateng, 'kan, Zra?" tanyanya pada Ezra.

Orang yang dipanggil Ezra itu mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Tadi udah, tapi sekarang pergi lagi," jawabnya sebelum kembali fokus pada ponselnya.

Aneth mengangguk beberapa kali. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya pada Nias yang sedang bercanda ria dengan anggota OSIS lain.

"Nias," panggil Aneth.

Lantas, Anias menoleh. "Apa, Yank?"

"Lo nggak mau makan mi? Gue laper, anjir."

"Eh, iya! Gue tadi mau ngajak lo makan mi, cuman gue lupa. Makasih udah ngingetin ya, Yank. Ayo makan mi," ujar Nias antusias, langsung berdiri dari duduknya.

Sementara itu, Artha, pria yang duduk di sebelah Aneth, kini melayangkan tatapan kesal pada mereka berdua. "Lo berdua tiap hari makan mi. Mau mati cepet lo?" sahutnya.

Sayangnya, komentarnya diabaikan begitu saja. Kesal yang semula hanya sedikit kini semakin menjadi-jadi hingga membuatnya merasa mood-nya hancur total.

Aneth dan Nias berjalan keluar ruang OSIS sambil bergandengan tangan bak pasangan serasi. Padahal, mereka sejenis. Tenang, mereka hanya suka skinship, bukan berarti menyukai sesama jenis.

Langkah mereka berhenti di kantin yang cukup sepi. Mungkin karena ini istirahat kedua, tidak banyak yang ingin mengisi perut. Aneth berjalan ke arah Bibik, seorang wanita paruh baya yang menjadi penjual di kantin.

Nias dan Aneth menatap empat tumpuk pop mie yang berada di atas meja.

"Bik, ini cuma ada ini aja?" tanya Nias.

"Enggak, Neng. Masih banyak, tapi masih di kardus," jawab Bibik.

"Banyak amat, Bik? Stok buat beberapa minggu ke depan, ya?" tanya Aneth, menyadari ada lima kardus di bawah meja.

"Enggak, Neng. Ini stok buat beberapa hari aja. Kan ini semua buat Eneng juga," jawab Bibik dengan senyum anehnya. Kemudian, ia mengangkat satu kardus dari tumpukan paling atas. "Kan Bibik tau kalian ini suka makan pop mie, jadi sekalian Bibik stok banyak."

Aneth tertawa canggung, melirik Nias. Namun, bodohnya Nias tidak menyadari hal itu dan hanya peduli pada pop mie varian pedas.

Mereka makan di kantin sambil berbagi cerita, terkadang saling melontarkan candaan untuk menghilangkan suasana sepi.

Tak lama kemudian, ponsel Aneth yang berada di saku tiba-tiba berdering. Membuat mereka menghentikan kegiatan mereka sejenak. Aneth yang mengetahui bahwa sang penelpon adalah salah satu anggota OSIS sengaja menyalakan pengeras suara.

"Halo?"

"Lo di mana?"

"Di kantin sama Nias. Kenapa, Ra?"

"Cepet balik, rapat mau dimulai! Katanya, Bapak juga otw ke ruang OSIS."

Telepon langsung dimatikan sepihak setelah Aneth mendengar kalimat terakhir dari Zara, orang yang menelponnya. Ia kembali meletakkan ponselnya di saku dan buru-buru berdiri dari duduknya. Tak berbeda dengan Nias yang langsung menyusul langkahnya. Beruntung makanan mereka sudah dibayar saat pop mie dimasak.

Tok tok tok

Nias mengetuk pintu ruang OSIS, berjaga-jaga kalau-kalau kepala sekolah sudah berada di dalam. Mereka takut terkesan tak sopan jika langsung masuk tanpa mengetuk.

Pintu terbuka, menampilkan seorang pria berambut ikal. "Lama banget," sinis pria bernama Stefan itu.

Suasana terasa kaku saat Nias dan Aneth duduk di kursi yang masih kosong. Meja panjang yang biasanya penuh dengan tumpukan kertas kini sudah bersih, hanya menyisakan vas bunga dan beberapa kotak berisi alat tulis.

Beberapa menit berlalu dalam ketegangan, hingga akhirnya pintu ruangan kembali terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya-Bapak Kepala Sekolah.

"Halo, anak-anak. Bagaimana kabar kalian hari ini?" sapa beliau lembut saat duduk di kursinya.

"Baik, Pak," jawab mereka serentak, masih dengan ketegangan yang kentara.

"Seperti yang kalian ketahui, saya mengumpulkan 12 anak yang sangat saya percaya kinerjanya. Saya tentu berterima kasih atas kerja keras kalian. Tapi ini sudah H-3 menjelang festival band, dan saya berharap kalian bisa menyukseskan acara ini seperti acara-acara sebelumnya."

"Siap, Pak! Kami akan bekerja lebih keras," jawab Ketua OSIS, Zerina.

"Dan dari 12 orang ini, saya akan melihat seluruh kerja keras kalian, hingga hanya tiga orang saja yang akan saya percaya sampai akhir."

Ruangan itu mendadak sunyi. Semua orang terdiam.

Tiga orang? Maksudnya apa? Kenapa hanya tiga? Apakah ini bentuk pilih kasih?


.
.
.
.
.
.
.
.
.

Re-publish setelah di-revisi dan penataan alur ulang.
Jangan lupa untuk klik tombol bintang, terimakasih and have a nice day!

12 Titik Balik (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang