Kini mereka duduk di kursi kantin, mengelilingi satu meja di tengah-tengah. Semuanya tampak berpikir keras, dengan pandangan yang mengarah pada satu tujuan, yaitu kunci yang sebelumnya ditemukan Aneth.
Mereka sama sekali tidak mengira jika teka-teki dari red juga bisa berupa barang. Namun, jika dipikirkan kembali, ini seperti mencari tali takdir yang tak berujung dan akan memakan korban jika saja mereka salah dalam menarik tali takdir.
Sama seperti yang lain, Aneth merenung dengan melipat kedua tangannya, sembari menatap lurus ke depan, atau lebih tepatnya ke arah kunci.
Otak Aneth mencoba membongkar segala ingatan yang mungkin saja berhubungan dengan kunci di depannya. Ruangan apa yang terkunci? Apakah kunci ini juga berhubungan dengan teka-teki lain? Atau apakah kunci ini hanya akan menjadi pengecoh?
Aneth benar-benar berpikir keras, mencoba mengingat ruangan mana yang sebelumnya terkunci saat ia memeriksa seluruh ruangan di sekolah ini.
Ruang guru.
Aneth baru mengingat satu ruangan yang terkunci rapat. Punggungnya langsung tegak begitu mengingat hal itu, namun tangan kanannya langsung digenggam Artha yang duduk di sebelahnya. Ia yang merasakan genggaman hangat itu lantas menoleh ke arah Artha dengan wajah bingung.
Artha mendekatkan wajahnya ke arah telinga Aneth, lalu berbisik, "Jangan gegabah, kita diskusi bareng-bareng dulu." Tangan Artha semakin menggenggam erat tangan Aneth, "Nyawa seluruh anggota Osis taruhannya, Neth," imbuhnya yang cukup untuk menampar Aneth dalam kenyataan.
Sudah cukup Aneth berpikir sendirian, ini bukan waktunya menjadi pahlawan kesiangan. Bukan hanya dirinya yang takut dan bukan hanya nyawanya yang terancam. Aneth tidak bisa berjalan dengan pemikirannya.
Diawali dengan menarik napas panjang, Aneth menatap temannya satu per satu. Mereka tampak masih fokus pada kunci di depannya. "Teman-teman, maaf gue terlalu gegabah sebelumnya," ucap Aneth yang membuat seluruh perhatian temannya beralih padanya.
"Gapapa, Neth. Lagian kan ada hasilnya, ini bukan waktunya maaf-maafan," ujar Rena.
Aneth menggosok tengkuk lehernya dengan perasaan tak nyaman, "Gue... kayaknya tahu ini kunci dari mana." Pada akhirnya Aneth memilih untuk tidak melangkah dengan sembrono dan mencoba untuk mendiskusikan hal ini.
"Tapi gimana kalau sekalian kita diskusi sama seluruh anggota Osis? Daripada cuman kita-kita aja yang tahu."
Mereka saling menatap lantas bingung dengan keputusan apa yang harus mereka ambil. Namun detik berikutnya mereka mengangguk perlahan dan berdiri dari duduknya, sembari membawa kain dan kertas yang telah mereka dapatkan.
•••
Maka di sinilah 11 anggota Osis yang berkumpul atas panggilan Zerina. Sebelumnya mereka hanya akan melingkar dan berdiskusi saat malam tiba, sembari menenangkan diri mereka.
Namun sekarang mereka duduk melingkar dengan menebak-nebak mengenai apa yang telah terjadi. Jarang sekali mereka diskusi saat kegiatan siang hari dilakukan.
"Ada apa?" tanya Killa yang duduk di samping Anias, memasang wajah yang tampak khawatir — takut jika ada hal buruk yang kembali terjadi.
"Ini soal kantin," Zerina mengawali.
Seluruh anggota menatap bingung satu sama lain. "Ada apa lagi sama kantin?" tanya Zara, ia menghembuskan napas berat. "Tadi kan lihat sendiri? Gak ada apa-apa di kantin, tolong jangan terpaku sama kain merah kemarin."
Karena takut semakin panas, Zerina membawa kain merah yang sudah dilipatnya dengan rapih. Ia meletakkannya di tengah-tengah lingkaran dan membuka perlahan hingga memperlihatkan 3 kertas yang tadi ditemukannya bersamaan dengan kunci.

KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik (END)
Teen Fiction(Sudah revisi) Aneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan ny...